Kamis, 24 November 2011

Fatamorgana dibalik Tembok

“Oke! Sampai disini mata kuliah Metopel kita. Jangan lupa tugasnya dikumpul minggu depan. Selamat siang semuanya!”
“Siang, Pak!!!”
Pak Hendry menutup kelas. Seisi kelas mengundurkan diri berebut untuk keluar dari ruangan. Suaranya gaduh. Berisik. Aku mengambil sela paling lebar hingga berhasil keluar dari desakkan mahasiswa- mahasiswa tak sabaran seperti mereka. Ku gendong tas eiger dipunggungku. Mengambil langkah cepat sedikit berlari.
“Gery!!” Seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku menghentikan langkah, kemudian menoleh. Roy berlari kearahku hampir menabrak. Nafasnya terengah- engah setelah selesai berjuang mengejarku.
“Ada apa?” Tanyaku ingin tahu. Kullihat Roy butuh oksigen, sedangkan aku tidak bisa menunggu terlalu lama untuknya. “Buruan! Nih orang malah ngos- ngosan melulu? Gue mau cepat nyampe rumah, nih!” Desakku.
Roy mengambil nafas. Mengisi ruang pada paru- parunya. “Lo mau kemana sih? Buru- buru amat! Gue mau ikut kerumah lo.” Sudah ku tebak dia akan meminta hal itu.
“Eitss! Kali ini gak bisa. Gue lagi gak pengen bawa siapa- siapa kerumah.”
“Napa, sih? Biasanya elo yang ngajak gue kerumah lo.”
“Kali ini kagak! Gue ada urusan.” Aku menekankan.
“Tugas kelompok kita, Ger… mesti dikumpul minggu depan. Bab satu aja belum ada. Kalo gak dikerjai kapan kelarnya?”
Alasan! Pikirku.
“Yang ini lebih penting daripada tugas metopel.” Sekali lagi aku menekankan. Mencondongkan wajahku. Muka berminyak Roy semakin terlihat menjijikkan. “Besok- besok aja kita kerjain. Okey?!” Aku memutar badan. “Gue duluan, ya?” Ku lambaikan tangan kananku kebelakang. Roy berdiri kaku tanpa mengejar.
“Gery! Gimana sih nih anak! Gue ikutan ngebeng donk sampai rumah Widya.”
“Gak bisa! Gue buru- buru.” Aku berlari menuruni anak tangga licin dengan penuh hati- hati. Berusaha agar Roy tigak bisa mengejarku sampai parkiran. Hingga akhirnya aku berhasil sampai kedalam mobil tanpa ada gangguan dari siapapun.
  
Lagi- lagi aku penasaran dibuatnya. Ku ambil kursi bamboo anyaman dari beranda samping rumahku. Memepetkannya ke tembok pembatas antara rumahku dengan rumah tetangga. Aku butuh kursi ini sebagai media pemanjat. Agar aku bisa melihat sisi lain di balik tembok berlumut ini. Ada sesuatu yang istimewa dibalik sana. Sesuatu yang seminggu terakhir ini selalu membuatku penasaran dan menunggu.
Kupanjat kursi bambu yang hampir jebol ini. Sedikit menjinjitkan kaki dan mendongakkan kepala.
Arkhhh!!! Capek.
Aku turun lagi. Kali ini aku mengambil beberapa batu bata kotor dari tepian kolam ikan mas. Kemudian menyusunnya rapi diatas kursi sampai kira- kira sudah cukup tinggi. Tanpa ragu aku memanjatnya lagi.
Wahhh… kali ini benar- benar pas. Ku dongakkan wajahku ke halaman rumah tetangga. Benda yang pertama kali ku sorot adalah pohon manggis. Di tempat itulah biasanya aku melihat sesuatu berkilau, cantik tiada tara. Menunggu fatamorgana nan indah muncul kepermukaan. Aku rindu dengan suara indah itu. Aku ingin mendengarnya lagi seperti yang sering ia lantunkan tiap siang.
Jam 12.25.
Lima menit lagi, dia pasti muncul. Aku sudah menerka- nerka. Seperti apa penampilannya hari ini. Aku berharap dia memakai dress warna kuning. Seperti yang ia kenakan tiga hari lalu. Coraknya sangat cocok dengan warna kulit langsatnya. Maka ia kan kelihatan lebih bercahaya. Tapi, itu tak penting buatku. Asalkan dia mau muncul di penglihatanku, aku puas.
Aku terlalu setia menunggu. Berkali- kali kakiku naik turun kursi untuk meregangkan otot. Sudah hampir setengah jam aku berdiri di atas kursi. Tapi sosok itu tidak juga menampakkan diri. Aku hampir menyerah.
Namun tiba- tiba aku mendengar sebuah suara. Suara yang amat ku kenal mencolek telingaku. Seperti seekor kucing tatkala mendengar suara piring tuannya sedang makan. Aku langsung terperanjat. Ku naikkan lagi kakiku keatas kursi. Ku intipkan kepalaku pada pembatas dinding. Sedikit berhati- hati agar wajah tampanku tidak tergores sudut kasar tembok.
Kali ini ia mengenakan baju warna hijau muda. Rambut ikalnya di kuncir kebelakang. Duduk manis di bawah pohon manggis sambil menempelkan ponselnya ketelinga kiri. Berbicara sambil tertawa kecil. Aku suka cara dia berbicara. Dan aku sangat senang mendengarnya tertawa renyah seperti itu. Aku memang tidak tau dia mengobrol dengan siapa dibalik ponsel itu. Barangkali temannya. Karena menurutku dia bercerita seadanya. Hati kecilku sedikit berharap, mudah- mudahan itu bukan pacar atau gebetannya. Jangan sampai itu terjadi, dan aku tak akan membiarkan itu terjadi.
Aku terlalu terpesona oleh gadis itu. Setiap hari aku tak pernah lelah memandanginya seperti ini. meskipun tak pernah kulihat wajahnya, karena ia tak pernah menyempatkan diri menunjukkan wajahnya walaupun sesaat. Dan meskipun aku tak tahu namanya. Juga tidak tahu siapa sebenarnya dia dirumah itu. Yang penting aku tidak pernah keberatan jika harus punya tetangga secantik dia.
  
Teriknya hampir menembus mata. Sesungguhnya aku tak tahan harus di setrap di bawah terik matahari seperti ini. sinar ultra violetnya bisa saja menyumbangkan racun untuk kulitku. Aku tidak akan pernah sudi berdiri seperti ini kalau bukan karena primadonaku. Aku sengaja meninggalkan forum diskusi bersama kedua temanku lantaran rindu dengannya. Ku biarkan mereka membentuk forum sendiri tanpa kehadiranku. Asalkan bisa sejenak memandanginya seperti ini terus, aku rela meskipun hujan badai atau bahkan gempa tektonik sekalipun. Aku tidak akan pernah mau bergeser dari pertapaanku. Melihatnya mengenakan kaos pink berlengan panjang, membuatku ingin melompat saja dari tembok ini.
Tidak boleh!
Aku harus tetap diam disini. Jangan sampai ia tahu ada cowok pengecut seperti aku yang selama ini beraninya cuma mengintip seperti tikus celurut di balik tembok. Aku bisa malu setengah mati nantinya. Jika harus menjadi penggemar di balik tembokpun aku tak keberatan.
Plakkk!!
Aku mengusap- usap bokongku yang perih lantaran pukulan sadis dari Roy. Ternyata mereka menemukan tempat persembunyianku. Aku menoleh kebelakang sambil meringis kesakitan. Turun dari kursi rotanku yang baik hati. Mereka tertawa. Mengejekku sedemikian rupa.
“Sakit, gilak!” Eluhku masih mengusap- usap bokong.
“Ohh… dicariin dari tadi entah kemana, rupanya ngumpet disini. Ngintip apaan sih?” Roy mengomel.
“Gak ada. Cuma iseng.”
“Hmmm… lu ngintip tetangga lu lagi telanjang ya? atau mau nyolong makanya ngintip- ngintip kayak gitu?” Kali ini Dimas ikut campur.
“Enak aja lu ngomong! Mana mungkin gue ngintip orang telanjang, ah! Ada- ada aja lu.” Aku menghimpun mereka. Tak ada salahnya jika aku menceritakan apa yang ku lihat selama ini. “Gue ngeliat cewek. Cuakep!” Kataku sedikit berdusta. Padahal rupanya saja aku tidak pernah tahu.
“Cewek? Perawan maksud lu?” Aku bisa melihat mereka mulai tertarik dengan sekilas infoku.
“Ya iyalah. Masa gue ngintipin nek Damrih!”
Roy menepuk pundakku kemudian merangkulnya. “Maksud gue, lu kan pernah cerita kalau yang tinggal dirumah itu cuma nek Damrih, anak perempuannya yang janda sama cucunya. Siapa tuh? Si Sanusi. Iya bocah tengil itu.”
“Itu dia, Roy! Gue juga baru ngeliat tuh cewek seminggu yang lalu.”
“Suss…!!!” Secara tak sengaja kami mendengar seseorang berteriak dari rumah sebelah.
“Sus???” Kami saling berpandangan penuh tanya. Rasa penasaran kamipun timbul. Kemudian Roy dengan cepat memanjat kursi rotan itu. Mengikuti caraku mengintip.
“Gak ada siapa- siapa disitu, Ger.” Roy memastikan sekali lagi. Matanya setajam teropong. Namun tetap saja tak menemukan sosok yang sedari tadi kumaksud. Akhirnya diapun menyerah lalu turun.
“Mana? Gak ada siapa- siapa kok.”
“Masa sih? Aku sering lihat dia dibawah pohon manggis.” Barangkali tuh cewek udah masuk kedalam rumah, pikirku. “Sebentar!” Ada ilham seolah mengarah padaku. “Tadi kita denger ada yang teriak Suss! Apa jangan- jangan itu namanya?”
“Aku tahu!!” Roy menepuk tangan memekik. “Pasti namanya Susi!”
“Hiyy… masa namanya ndeso!” ujarku memasang wajah najis.
Dimas mengerutkan keningnya. Dia pasti sedang berpikir sama seperti aku. Menebak siapa kira- kira inisial sebutan itu. Beberapa detik kemudian, wajahnya cemerlang.
“Susan!! Pasti Susan.”
“Kalau yang ini aku setuju!” Kataku sumringah. Aku suka nama itu.
Tapi Roy punya pendapat lain. “Aku rasa namanya Susu! Hahahaha…!!!!” Kemudian Roy tertawa sampai hampir nangis. Dimaspun ikut- ikutan ngekeh. Padahal menurutku pendapat Roy itu malah bikin aku sakit hati.
Kok Susu sih?
Kubiarkan mereka puas tertawa kalau perlu sampai hampir mati. Setelah kelelahan merekapun berhenti sendiri. Dimas memegangi perutnya lantaran sesak, mengatur nafasnya setelah mengeluarkan energi penuh untuk ketawa. Kemudian memukul pundakku gregetan.
“Jadi lu belum tahu tuh cewek siapa?” Aku menggelengkan kepala atas pertanyaan Dimas. “Kenapa gak cari tahu?”
Aku menghela nafas seraya menundukkan kepala. “Lu kan udah pada tau kalo’ gue nih orangnya pemalu.”
“Ckckckc…” Dimas berdecak sekaligus menggelengkan kepala. “Gak bisa gitu donk, Ger. Lu harus cari tau siapa tuh cewek.”
“Bener, Ger. Sayang kan kalo dibiarin gitu aja?”
“Kita cari tau sekarang!”
“Hah?” Aku sedikit terkejut dengan saran Dimas. “Maksud lu?”
“Kita datengin rumah tetangga lu ini trus kita tanya. Gampang kan?”
Aku sedikit ragu dalam bayangan maya. Namun aku suka saran temanku yang satu ini. mereka sanggup meyakinkan aku untuk berani. Gery yang pengecut pasti akan tahu siapa primadona itu sebenarnya. Seorang gadis yang selama ini hanya bisa ku pandangi dibalik tembok samping rumah. Tanganku sudah tak sabar ingin menjabatnya kemudian memperkenalkan diri dan berkata, hai? Aku Gery.
  
Ekspedisiku bersama Dimas dan Roy tidak membuahkan hasil sesuai harapan. Kami sudah menanyakan semua hal tentang gadis tersebut, tapi nek Damrih bilang tidak ada gadis yang bernama Susan atau Susi sesuai ciri- ciri yang kusebutkan pernah tinggal atau menginap dirumah itu. Nek Damrih tetap ngotot kalau ia hanya tinggal bertiga dengan anak dan cucunya.
Bagaimana mungkin? Baru beberapa menit yang lalu aku melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri kalau gadis itu duduk di bawah pohon manggis dan mengenakan kaos lengan panjang berwarna pink. Dan bukan cuma sekali, tapi setiap hari aku melihatnya. Itu bukan fatamorgana atau bayangan semu. Tapi itu nyata. Aku tidak mungkin salah melihat.
Berulang kali aku meyakinkan Dimas dan Roy kalau aku sungguh melihatnya. Aku tidak sedang berhalusinasi ataupun sakit jiwa. Tentu aku masih sangat waras. Tapi mereka tetap tidak percaya setelah mendengar keterangan nek Damrih.
“Gue yakin cewek itu bener- bener ada, gue gak bohong.” Aku meneguhkan.
Dimas duduk di lantai beranda samping rumah. Menyelonjorkan kakinya santai. “Tapi lu denger sendirikan nek Damrih bilang apa? Gak pernah ada cewek yang tinggal disitu selain dia dan anak cucunya.”
“Trus yang gue lihat selama ini apa donk?”
Roy mundur satu langkah kebelakang. Ekspresinya tiba- tiba terkejut. “Ger! Jangan- jangan tuh cewek setan? Kuntilanak, suster ngesot atau semacamnya.” Aku dan Dimas memusatkan perhatian padanya. Jidad kami sama- sama berlipat. “Dan lu bilang dia suka nongkrong dibawah pohon manggiskan?” Aku mengangguk.
“Trus apa hbungannya sama pohon manggis?” Tanyaku.
“Pohon manggis… Ger, pohon manggis…” Roy menelan ludah. Jakunnya terlihat jelas naik turun. “Pohon manggiskan sarangnya kuntilanak!”
Astaga?! Bagaimana kalau Roy benar? Bahwa yang selama ini kulihat itu bukan manusia alias siluman. Bukankah aku belum pernah melihat wajahnya sekalipun. Belum pernah membenarkan wujud yang sebenarnya. Tapi kenapa sosok itu terlalu nyata. Suara tawa yang kusukai itu masih jelas terngiang di telingaku. Aku sedikit gamang. Betapapun aku meyakinkan suatu keberadaan, nyatanya tak ada bukti- bukti yang dapat menguatkan dalil. Aku tidak bisa benar- benar paham pada kondisiku sendiri atas apa yang pernah kualami.
Aku seperti berjalan diatas awan. Padahal kakiku tak bisa menapak pada gumpalan awan. Setiap kali aku menyentuhnya, dasar awan itu terlerai. Hingga akhirnya tak tersentuh oleh apapun. Begitupun awalnya aku begitu yakin akan sosok gadis di balik tembok berlumut itu, aku senang setiap kali melihatnya duduk manis di bangku bawah pohon manggis meskipun hanya tampak punggung. Tapi aku merasa seolah ada kedamaian menaungi tubuhku. Menegukkan kesejukan pada hatiku yang kosong. Primadonaku tak lagi pernah menunjukkan sosoknya. Setiap kali aku memanjat tembok yang kudapat hanyalah lelah beserta kekecewaan. Aku memang tidak pernah lagi melihatnya. Seolah- olah terkelabui oleh tabir abstrak. Barangkali aku cukup mafhum bila harus menjadikannya bidadari yang pernah mengusik celah jiwaku. Aku tidak memihak siapapun untuk percaya. Aku tetap yakin bahwa ia pernah nyata di mataku.
Aku turun dari kursi rotan kesayanganku dengan hati penuh kecewa. Primadona pendamai hatiku tak lagi pernah muncul setelah penelusuranku tiga hari lalu. Dia benar- benar hilang. Kalau saja aku tidak mencari tahu tentangnya waktu itu, mungkin barangkali aku masih bisa melihatnya. Tak peduli ia setan, siluman ataupun jin. Aku sudah terlanjur menyimpan hati pada sosok tak jelas itu.
Lantai marmer di ruang tamu memantulkan bayanganku. Suara decitan dari telapak kakiku mengiringi maksudku pada asal suara riuh di depan rumah. Tawa cekikikan mama terdengar nyaring. Aku menghampirinya. Kulihat di halaman depan nek Damrih berjalan selangkah demi selangkah kepayahan. Dia dituntun oleh seorang perempuan.
Perempuan itu? Aku pernah melihat dress kuning yang ia kenakan. Aku kenal dengan rambut lurusnya yang terkucir serta punggung indahnya. Mataku terbelalak tak percaya.
“Itu nek Damrih, Ma?” Tanyaku pada mama yang masih tertawa kecil.
“Iya. Dia baru pulang dari warung, tapi kok pulangnya kesini. Nek Damrih pikir ini rumahnya. Hihiihih… penyakit pikunnya semakin parah.”
“Pikun?” astaga! Aku tahu sekarang. “Trus, cewek itu siapanya, Ma?” Mataku belum lepas dari nek Damrih dan cewek itu. Mereka belum keluar dari pintu gerbang.
“Cewek itu ya susternya. Yang merawat nek Damrih selama ini. Desi bilang dia gak sanggup merawat ibunya sendiri. Jadi harus pake’ suster.”
Pernyataan mama membuatku seperti menemukan ilham yang selama bertahun- tahun bersembunyi. Ini bukan fatamorgana. Inilah yang sesungguhnya. Dia benar- benar ada. Dia nyata. Dan kini aku bisa melihat wajahnya yang sangat cantik. Tersenyum saat menoleh kearahku. Tanpa ragu akupun berlari mengejarnya sebelum dia kembali hilang dari pandangan. Kakiku perih menginjak kerikil. Hampir tak terasa lantaran kebahagiaan.
Aku berhasil menghentikannya. Ku pandangi wajahnya lekat- lekat.
Ia sungguh cantik. Benar- benar cantik. Aku hampir tidak percayadengan apa yang kulihat. Sosok yang kuintip selama ini ternyata lebih cantik dari yang ku bayangkan. Mata coklatnya begitu indah. Aku hampir tak bisa mengedipkan mata walau sekejap. Dia terlalu cantik jika disangka siluman.
“Ada apa?”
Astaga… suaranya… hampir saja jantungku tak berdetak mendengarnya. Begitu lembut, hatiku seketika tenang menerima sinyal dibalik aura indah itu. Aku tak mau menyiakan kesempatan ini. Ku sodorkan tangan kananku.
“Hai? Aku Gery.” Sapaku seraya memasang senyum termanis. Tapi tak semanis senyumnya, tak sebening sorotan matanya.
Ia pun menjabat tanganku seraya tersenyum. “Mariska.”
Mariska. Nama yang sangat indah menurutku.
Comments
3 Comments

3 komentar:

yudi's mengatakan...

bagus...

yudi's mengatakan...

bagus

innda calalo mengatakan...

@yudi: thanks yaa
@Andy online: udh gue follow back, thanks too

Posting Komentar

thank's for your comment