Selasa, 25 Agustus 2009

Sopir BuAh Pir

Hiruk pikuk suara memenuhi tempat parkiran pelataran kampus. Masih tetap terdengar sedikit bising meskipun jendela mobil aku tutup rapat-rapat. Tapi jendela belakang tidak ku tutup, agar angin bisa masuk dari sana. Sehingga aku tidak perlu menyalakan AC mobil yang membuatku terkadang bisa sesak nafas. Aku tidak suka menghidupkan AC mobil jika bukan karena permintaan bos.
Biasanya aku menunggu diluar sambil cuci mata melihat gadis-gadis kampus berkeliaran kesana-kemari, tapi kuurungkan niatku untuk nongol keluar dari mobil karena panasnya terik matahari yang membuat setiap mata terpicing dengan sinarnya. Belum lagi panasnya yang hampir membakar kulit. Sudah pasti aku tidak mau kulit putih bersihku ini menjadi hitam Cuma gara-gara secuil sinar UV. Labih baik aku tidur didalam mobil sambil mendengarkan iPod.
Bibirku komat-kamit mengikuti alunan musik yang kusetel kuat-kuat. Kepalaku mengangguk-angguk dan tanganku ikut menari mengepak-ngepak paha karena dentuman musik gun’s N roses hampir membuatku melonjak-lonjak. Dengan begini aku tidak lagi mendengar suara-suara bising dari luar sana. Aku anggap ini sebagai terapi untuk menghilangkan kebosanan.
“Mas Danu! Mas! Ih… dipanggilin gak denger-denger. Mas!!” Seseorang memukul pundakku dari belakang. Aku tersentak kaget dan langsung terperanjat bangun begitu melihat mbak Ros sudah duduk dibelakang mobil sambil tertawa melihat ekspresi wajahku yang terkejut. Akupun ikut tersenyum malu.
“Ya ampun… mbak Ros! Ngagetin aja.” Ujarku seraya mengelus-elus dada.
“Makanya kalau pakai iPod itu jangan kencang-kencang. Belajar jadi pekak ya?”
“Ya… dari pada bosan, mbak.” Jawabku ngeles. “Langsung pulang nih?”
“Biasalah, mas… stok udah habis nih. Tinggal satu ditangan.” Aku mengerti apa maksud gadis yang umurnya 3 bulan lebih muda dariku ini. Kemana lagi tujuannya kalau tidak ke toko buah. Itu adalah tempat yang rutin 2 hari sekali harus dikunjungi. Menyempatkan diri untuk membeli buah pir belahan hatinya.
Setiap saat dan dimanapun ia berada, buah pir tak pernah lepas dari genggamannya. Bahkan disaat dia sedang bekerja atau beraktivitaspun ia menyempatkan diri untuk menggrogoti buah pir. Aku tidak heran lagi. Karena itu sudah menjadi makanan favoritnya sejak ia masih SMA dulu. Gadis cantik ini seperti sudah kecanduan.
Bahkan ia rela menggantikan nasi dengan buah pir sebagai makanan pokoknya. Tak heran jika ia memiliki kulit yang bersih dan fresh Cuma dengan mengkonsumsi satu kilo buah pir setiap harinya, terkadang lebih malah.
Aku melajukan mobil CR-V Gress yang sering disebut oleh mbak Ros si “mutiara putih”. Itu adalah julukan untuk mobil kesayangannya meskipun ia tidak bisa mengendarainya sendiri.
Aku melihat mbak Ros dari kaca spion. Ia sedang mengeluarkan laptopnya dari dalam tas dan dengan cepat menyalakannya. Tanpa segan aku bertanya.
“Nulisnya masih nyambung, mbak?” Dan mbak Ros dengan ramah tersenyum.
“Iya nih… deadline tiga hari lagi. Kalau tidak segera diselesaikan bisa gawat.” Jawabnya. Aku menggelengkan kepala tanda salut.
Salut dengan perjuangan mbak Ros yang tak menyerah untuk terus menyelesaikan naskah skenarionya. Kalau saja laptop pertamanya yang berisi file-file skenario yang hendak selesai tidak nyebur disumur kamar mandi rumahku, pasti ia tidak perlu capek-capek bekerja keras diburu waktu seperti itu.
Waktu itu mbak Ros main-main kerumah, alasannya dia ingin cari suasana yang hening dan sejuk. Dan suasana seperti itu hanya bisa didapatkan dirumahku. Itu memang bukan yang pertama kalinya ia datang kerumah. Sangking sayangnya ia pada laptopnya yang berharga, ia sampai membawanya kekamar mandi.
Aku sudah berpesan padanya untuk tidak melihat kebawah sumur. Karena aku tahu ia pasti takut melihat kedalaman. Mungkin jika ia melihat kebawah sumurku yang dalamnya 11 meter ia bisa pingsan atau menjerit. Dan ternyata dugaanku benar. Ia menjerit histeris begitu melongokkan kepalanya kesumur kamar mandi.
Aku langsung berlari kekamar mandi. Takut terjadi apa-apa padanya. Dan dengan wajah seperti orang bodoh, mbak Ros menatapku dengan wajah polos seperti tidak terjadi apa-apa.
“Kok laptopnya jatuh?” Mbak Ros malah bertanya. Seharusnya aku yang tanya begitu. Bukanya dia menangis, cemas atau apa ini malah tertawa cekikikan menganggap itu adalah hal lucu. Aku benar-benar tak mengerti. Aku jadi ketularan linglung.
Berkali-kali aku meminta maaf karena merasa bersalah sudah membawanya kerumah yang membawa kesialan baginya. Tapi ia tidak menyalahkanku, karena itu adalah salahnya sendiri yang tidak mengikuti kata-kataku. Aku sama sekali tidak menemukan raut kesedihan diwajahnya, ia malah tertawa mengingat kebodohannya sendiri. Dan sebagai tebusannya, ia harus mengulang 212 halaman skenario untuk sebuah film televisi.
Kembali aku mngintipnya lewat kaca spion. Lagi-lagi buah pir. Mungkin itu yang mbak Ros bilang buah pir satu-satunya yang tertinggal.
Ia melemparkan buah pirnya keatas. Kemudian, hap!! Ia tangkap kembali. Lalu ia gigit hingga membuat pipinya gembung karena banyaknya buah pir yang ia kunyah didalam mulut. Aku melihat, mbak Ros seperti menemukan ilhamnya kembali. Wajahnya amat berseri, dan semangatnya untuk menulis seolah hidup begitu saja.
Aku kembali bertanya. “Apa mbak bisa konsentrasi kalau diburu waktu seperti itu?”
“Asalkan ada jimat ini, semuanya pasti beres.” Jawabnya sambil menunjukan buah pir itu kearahku. “Dalam hidup itu, kita harus punya sesuatu untuk bisa membuat kita tetap bersemangat dalam melakukan berbagai hal. Sesuatu itu bisa benda, makanan, atau orang yang kita sukai. Seolah kita jadikan dia sebagai motivasi untuk membangun diri kita sendiri.”
Inilah kata-kata yang kutunggu keluar dari bibirnya. Mbak Ros yang biasa tingkahnya kekanak-kanakan kini berbicara seperti orang dewasa yang sudah punya banyak pengalaman. Ia kembali menasihatiku.
“Itu makanya, mas… kalau kerja harus punya sesuatu yang kamu idolakan, supaya kamu gak bosan. Punya tidak?”
“Ada sih… tapi udah lupa.” Jawabku singkat karena tidak tahu ingin berkata apa. Mbak Ros menggelengkan kepalanya kemudian kembali mengetik dan menggigit buah pirnya yang tinggal sedikit. “Tapi apa tidak capek, mbak kalau kerjanya diporsir terus?”
“Namanya juga sudah tanggung jawab, jadi harus benar-benar diselesaikan. Walaupun kita rugi di materi, moril ataupun fisik, yang namanya tanggung jawab harus kita tuntaskan. Kita tidak boleh kerja setengah-setengah, karena hasil yang kita dapatkan pasti akan setengah juga.” Dia menggigit buah pirnya kembali.
“Jadi kalau mau hasil yang maksimal, ya… harus bekerja maksimal juga.”
Aku tersenyum salut. Setiap pertanyaan yang kuajukan selalu ia jawab dengan bijaksana. Dia memang bukan wanita yang bisa diremehkan. Kata-katanya memang terbukti selama ini, meskipun ia tersandung penghalang yang bisa meruntuhkan keinginanya, ia tetap terus bertahan menatap kedepan. Meneruskan perjuangannya atas kerja keras yang selama ini ia bangun.
Aku kagum pada kepiawaianya. Aku boleh kagumkan? Asal jangan sampai jatuh cinta.

aWaL YaNg BaRu

Beberapa kehidupan memiliki cerita tersendiri dalam perjalanannya, apakah bahagia ataupun kesedihan yang mengarungi setiap langkah yang tertatih. apabila kita mengambil suatu moment yang menurut kita merupakan suatu tema dalam peristiwa tersebut, bukankah lebih baik bila kita mengabadikannya dalam bentuk tulisan, gambaran maupun memory yang tersimpan abadi di benak kita. hendaklah kita tahu bahwa suatu hari cerita yang kita abadikan tersebut antinya akan membuat kita tersenyum maupun menangis. bungkuslah dalam bentuk cerpen, ataupun novel yang dapat menjadi daya tarik tersendiri baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain yang membacanya. begitu juga denganku, kutulis cerpen ini dengan pengalaman pahit ataupun manis yang telah terjadi disekitarku. pahamilah setiap makna yang tersirat!!!!
jadi kamu bisa baca semuanya disini

namaku sudah mati

Sungguh panas terik matahari ini tak dapat lagi membuatku merasakan panas yang membakar kulit. Serasa aku sudah akrab dengan panas. Ia bagaikan udara segar bagiku. Yah… siapa tahu dengan begini aku juga bisa jadi terbiasa dengan panas neraka, sehingga aku tak perlu menjerit-jerit disana. Namun tak seharusnya aku melibatkan Evi, anak perempuanku yang masih berusia 4 tahun untuk merasakan penderitaan yang aku rasakan saat ini.
Dibalik dinding tembok pagar sebuah rumah mewah yang dulunya adalah tempat tinggalku ini aku bersembunyi. Mengintai dari luar untuk melihat keadaan rumah tersebut. Ku gandeng erat-eraat tangan anakku yang kurus dan hangat. Mungkin ia bingung apa yang sebenarnya dilakukan oleh ibunya di tempat seperti ini setelah pergi dari rumah karena tidak tahan dengan kehidupan yang selama ini serba melarat.
Dan Evipun bertanya padaku. “Kita ngapain sih, ma? Disinikan panas…” Eluh Evi seraya menutup kepalanya dengan sapu tangan usang. Aku terpaksa tersenyum untuk membuat hatinya tidak bingung dan bersikap tenang.
“Sabar ya, nak? Sebentar lagi kamu akan ketemu sama nenek kamu.” Dan aku dapat melihat wajah girang dan senyuman lebar dari bocah mungil ini.
“Nenek? Evi pengen ketemu sama nenek, ma… Evi pengen punya nenek.” Katanya girang seolah tak sabar ingin bertemu dengan neneknya yang selama ini tak pernah kuperlihatkan padanya. Karena neneknya yang sebenarnya itu sudah hampir empat tahun tidak menjadi ibuku akibat kebodohanku sendiri
Aku jadi ingat saat aku masih berumur 16 tahun, saat itu aku masih duduk di kelas 2 SMA. Masa-masa remaja yang terlalu bebas bagiku. Jatuh cinta dengan seorang pria yang juga sangat mencintaiku namun akhirnya berujung penyesalan. Pria itu bernama Firman, sampai sekarang ia masih suamiku. Namun baru 2 jam yang lalu aku memutuskan untuk berpisah dengannya.
Selama aku dan Firman berpacaran, orang tuaku tidak pernah setuju dengan hubungan kami. Karena Firman adalah anak yang berasal dari keluarga miskin dan tidak jelas statusnya. Sedangkan aku berasal dari keluaga yang bisa dibilang kaya dan cukup ternama.
Mama memang tidak salah berbicara seperti itu padaku. Karena dia adalah ibu yang sangat baik dan perhatian pada anak gadisnya. Ia ingin melihat aku bisa sukses, menjadi gadis yang kelak bisa berhasil dan membanggakan keluarga. Setiap hari mama tidak pernah lupa memberiku pesan-pesan positif. Tapi terkadang aku mengabaikannya begitu saja.
Tingkahku semakin menjadi-jadi ketika tahu bahwa hubunganku dengan Firman tidak disetujui oleh orang tuaku. Meskipun Firman adalah orang miskin, tapi aku tahu dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan pasti bisa berubah menjadi orang yang berhasil, karena dia adalah anak yang baik dan pintar. Namun, hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku hamil diluar nikah diusiaku yang masih belia.
Aku sangat menyesal saat itu, tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan dan apa yang akan aku katakkan pada orang tuaku. Sudah pasti aku akan mempermalukan keluargaku yang selama ini sudah mendidikku baik-baik. Atau mungkin saja aku akan diusir oleh mereka karena perbuatanku yang sungguh memalukkan. Sungguh aku tak ingin membuat mama kecewa atau membuatnya sedih. Akhirnya dengan terpaksa aku meninggalkan pesan lewat surat dan pergi meninggalkan semua yang aku miliki selama ini disaat usia kandunganku 3 bulan. Akupun pergi sejauh mungkin dari rumah dan menikah dengan Firman. Kami berdua terpaksa putus sekolah karena harus menghidupi keluarga.
Kami terpaksa menjadi pekerja kasar karena pendidikkan yang tidak memadai. Akupun ketularan menjadi pemulung seperti Firman. Dan sejak itu juga, aku tidak pernah bertemu dengan keluargaku lagi.
Namun beberapa bulan kemudian, tanpa disengaja aku bertemu dengan Rena, orang yang sempat menjadi sahabatku dulu. Jelas dia sangat terkejut melihat keadaanku saat itu. Ia meminta dan memohon padaku untuk kembali bersama orang tuaku, dia bilang mama sampai sakit karena memikirkan nasibku yang tidak ada kabarnya sama sekali.
“Aku tidak bisa, Ren… aku sudah terlanjur malu dengan keluargaku. Mereka pasti tidak mau menerimaku lagi sebagai anak. Apa kau tidak lihat keadaanku sekarang? Mau ditaruh dimana mukaku?” Kataku sambil menangis dihadapan Rena saat itu.
“Enggak, Sis… mereka masih sayang sama kamu. Pulanglah… kasihan mama kamu. Dia sangat rindu dengan anak perempuannya.” Pinta Rena memohon. Namun aku tetap bersikeras tidak ingin kembali kerumah, walaupun sebenarnya aku ingin sekali.
“Aku sudah punya anak, Ren. Dan aku harus bertanggung jawab dengan keluargaku. Mereka pasti tidak mau menerima Firman sebagai suamiku. Lebih baik kamu pergi dari sini, jangan bilang pada mama kalau kita pernah bertemu.”
“Kamu jahat, Siska! Tega sekali kamu pada mamamu! Aku tahu sebenarnya kamu sangat menyesal meninggalkan semuanya. Apalagi dengan kehidupanmu yang miskin seperti ini. Padahal dulu kamu punya hidup yang serba enak, tapi kamu menyia-nyiakannya.” Dan akupun pergi tanpa menghiraukan kata-kata Rena. Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Rena lagi.
Apa yang dikatakkan Rena memang benar. Aku sangat menyesal, namun entah kenapa penyesalan selalu datang terlambat. aku sempat berpikir kalau kehidupanku mungkin tidak bisa kembali seperti dulu lagi.
Tapi beberapa hari yang lalu, aku mulai merasa bosan dengan kehidupanku yang amat melarat. Aku sudah tidak tahan menjadi seorang pemulung yang kerjanya hanya mengorek-ngorek tempat sampah. Mencari barang–barang bekas yang hasilnya hanya pas-pasan buat makan sehari-hari. Juga kulitku yang menjadi buruk, terlalu banyak sel-sel kulit mati yang timbul akibat keseringan terkena terik matahari dan air yang kotor. Padahal dulunya kehidupanku serba enak, kulitku mulus karena selalu dirawat. Dan saat ini, aku ingin mengembalikan semua itu.
Aku akan masuk kedalam rumah ini dan meminta maaf pada keluargaku, berharap mereka mau menerimaku lagi sebagai anak yang selama ini mereka rindukan. Walaupun sebenarnya aku malu dengan keadaanku yang dekil seperti ini. Tapi itu tidak akan mengurungkan niatku.
Aku kembali melongokkan kepalaku kearah halaman depan rumah. Aku melihat Deny, kakak laki-lakiku yang lebih tua 1 tahun umurnya dariku sedang mencuci mobil honda Jazznya. Aku senang sekali melihat dia. Dulu, Deny itu sangat sayang padaku. Dia selalu memanjakkanku dan tidak pernah berkata kasar bila aku berbuat salah. Aku sangat rindu padanya.
Beberapa menit kemudian aku melihat Rena keluar dari garasi. Aku tak tahu mengapa Rena bisa ada dirumah itu. Dia mengenakkan kaus orange milikku dulu. Sejujurnya aku tidak ikhlas baju itu ia pakai, dan itu menimbulkan rasa heran bagiku. Memang sih dulunya Rena itu sering datang kerumahku, dia sudah seperti saudara sendiri bagi kami. Tapi setahuku, dia tidak pernah datang kerumah sore-sore begini.
Rena berjalan menghampiri Deny yang sedang asyik mencuci mobilnya. Kemudian mengejek Deny dengan kata-kata yang lucu. Mereka berduapun tertawa terbahak-bahak, dengan spontan Deny menyemprotkan air kewajah Rena sampai basah kuyup. Rena menjerit-jerit seraya tertawa dengan tingkah mereka.
Entah kenapa tiba-tiba timbul rasa cemburu didadaku, mereka begitu bahagia, sedangkan aku disini menderita selama bertahun-tahun. Atau mungkin mereka sudah menghapus namaku dari daftar kehidupan mereka.
Lagi-lagi Evi menarik tanganku dan bertanya. “Mereka itu siapa, ma?”
“Laki-laki itu… om kamu, Vi. Dan perempuan itu, sahabat mama dulu.”
“Mereka cocok ya?” Aku tak berkomentar. Justru kata-kata Evi membuatku semakin panas.
Selang beberapa menit, orang yang sangat ingin aku temui keluar dari pintu depan. Aku menangis melihat mama. Tangis sesal, bahagia, juga rasa bersalah, bercampur manjadi satu. Ingin sekali rasanya aku berlari menghampirinya dan memeluk tubuh mama erat-erat tak ingin kulepas. Ingin sekali aku mendengar kata-kata sayang dari bibirnya. Aku sudah tak sabar, ku pegang pagar besi besar ini untuk bisa masuk kedalam.
Kutarik nafas dalam-dalam dan kuusap dadaku yang berdebar-debar. Aku bimbang, ragu dan juga takut. Namun, sejenak aku mendengar percakapan mama dengan mereka.
“Deny! Hentikan! Kamu bisa bikin adik kamu masuk angin… nanti kalau Rena sakit gimana?” Mataku langsung terbelalak, mulutku ternganga mendengar kata-kata yeng keluar dari mulut mama. Adik? Adik Deny? Apa maksudnya?
Aku kembali memasang telinga tajam-tajam, mencoba mencari jawaban. Kulihat mama mendekati Rena dan membasuh muka Rena dengan tangannya. “Kak Deny tiba-tiba nyiram aku, ma…pake air sabun lagi.”
“Deny! Mama gak pengen ada anak mama yang jadi sakit. Sudah cukup main airnya, lihat! Anak gadis mama jadi basah kuyup begini..” Dan Rena merangkul mama kamudian mencium pipi mama dengan manja.
Ini tak lazim, ini tak mungkin. Aku sangat terkejut saat itu juga. Seolah petir berskala besar menghantam tubuhku yang luluh akibat pedihnya luka. Aku tidak percaya semua ini. Sahabatku sendiri, kini menjadi anak dari ibuku sendiri? Ternyata selama aku menghilang, Rena telah menggantikan posisiku sebagai anak dari keluargaku. Rena, yang dulu memohon-mohon memintaku untuk kembali, kini menjadi anak mamaku. Aku sama sekali tidak tahu jalan ceritanya.
Hatiku tersayat, ternyata selama ini aku memang dianggap sudah mati. Aku tidak mungkin melanjutkan niatku ini. Kalau aku kembali kerumah, aku pasti akan sangat malu karena namaku sudah dihapus dari daftar keluarga. Apalagi mereka telah mendapatkan seorang penggantiku. Aku tidak mungkin kembali, tidak mungkin.
Aku menangis sejadinya. Mungkin sudah takdirku untuk menjadi seorang pemulung selamanya dan tidak bertemu dengan keluargaku. Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Evi untuk mempertemukan ia dengan neneknya. Aku makhluk yang malang.
Kini kehidupanku sudah seperti serpihan kaca, tidak akan bisa disatukan kembali beling-beling yang sudah hancur. Andai saja dulu aku mau mengikuti setiap nasihat mama, mungkin hidupku tidak akan separah ini. Tapi kini terlanjur. Kalaupun serpihan kaca itu bisa disatukan, butuh perekat yang kuat sebagai penebus kesalahanku selama ini.
Aku pergi dari tempat ini dengan penuh kesedihan, begitu mata mama memperhatikan diriku.

Ujian buat Nia

Langkah lesunya kembali melunglai. Wajah tertunduknya menampakan raut kelesuhan serta kesedihan yang tak dapat ia sembunyikan dari siapapun. Sekalipun ia tak pernah tersenyum, karena kebimbangannya yang menyelimuti setiap gerak langkahnya semenjak peristiwa dua hari yang lalu.
Mungkin Nia sendiri merasa membodohi dirinya sendiri karena dengan mudahnya tertipu hingga merugi sebegitu banyak. Saat itu Nia tidak sempat berdiskusi dengan rekan-rekannya yang lain, bahkan berpikirpun ia tak lagi dapat menerawang.
Cita-citanya untuk memajukan sekolah TK yang selama ini ia perjuangkan sekaligus sebagai tempat untuk mencari nafkah telah musnah menjadi harapan kosong.
Waktu itu seseorang yang bernama Pak Basri menghubunginya lewat telepon. Pria itu mengaku sebagai seorang ketua dinas pendidikan kantor wilayah. Niatnya ingin memberikan bantuan dengan iming-iming yang sangat menggiurkan.
Betapa bahagianya Nia saat Pak Basri mengatakan bahwa mereka akan memberikan bantuan dana sebesar 100 juta rupiah untuk TKnya. Ini seperti yang sudah pernah dijanjikan oleh salah seorang anggota dinas pendidikan di kantor wilayah tersebut. Dan ia berpikir mungkin inilah saatnya harapan itu terkabul Nia pun tidak ragu lagi, setiap kata-kata yang menggiurkan itu keluar dari mulut pak Basri membuat Nia semakin tidak sabar untuk segera mencairkan dana tersebut.
Dengan syarat, ia harus mentransfer uang pajak senilai 10juta untuk bisa mengeluarkan dana yang besar itu. Awalnya ia ingin berdiskusi sementara waktu dengan guru-guru di TKnya. Namun desakan Pak Basri yang menyuruhnya utnuk segera mentransfer uang tersebut dalam batas waktu jam 12 siang, membuatnya alih-alih kerepotan mengambil uang dari kas TK dan secepat mungkin pergi ke Bank terdekat untuk mengirim uang yang diminta.
Wajahnya berseri-seri bahagia sambil menunggu uang 100 juta itu ada direkeningnya sampai jam 3 sore. Ia sudah merencanakan banyak hal, mau diapakan uang sebanyak itu untuk sekolah tercintanya. Hal yang lazim dipikirkan oleh seorang kepala sekolah bargaji kecil seperti Nia. Ia pernah berjanji akan ikut mensejahterahkan guru-guru di TK Pelangi, sesuai dengan permintaan mereka selama ini.

Dan bila hal ini terwujud teman-temanya yang selama ini hanya bergaji 250 ribu rupiah perbulan akan mendapatkan bonus yang lumayan besar dari dana bantuan ini.
Nia telah lama menunggu hingga jam sudah mengarah pada pukul 17:25 sore. Sepersenpun belum ada uang yang terkirim di rekeningnya. Ia mulai bimbang, Nia mencoba menhubungi Pak Basri lewat telepon genggamnya. Yang ada hanya mail box. Hingga dua puluh kali Nia mencoba menghubungi nomor tersebut, tapi hasilnya tetap nihil.
Ia coba bertanya pada pegawai bank yang dari awal sudah merasa aneh dengan tingkah Nia yang grusah-grusuh. Pegawai bank tersebut mengatakan “Mungkin ini Cuma penipuan, mbak”.
Jantungnya dalam sekejap seolah berhenti, pikiran yang tadinya menerawang jauh indah berubah seketika menjadi awan gelap disertai badai petir yang seakan menghantam kepalanya kemudian menghempasnya sejauh mungkin. Nia mencoba untuk berpikir jernih, tapi tetap tidak bisa.
Emosinya menaik, air matanya langsung meluap deras mendengar kata-kata pegawai bank tersebut. Dugaan yang sama seperti yang Nia pikirkan. Waktu tak dapat diputar kembali, angan-angannya berujung penyesalan dengan celaan yang membodohi dirinya sendiri. Ia hanyalah korban penipuan yang mungkin juga terhipnotis hingga membuat pikirannya kosong dan mengeruk uang kas milik sekolah untuk mengikuti rayuan terkutuk itu.
Nia tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan uang itu untuk menutupi kerugian yang ia buat. Otaknya buntu, dengan air mata yan beruraian pula Nia menceritakan peristiwa itu pada rekan-rekannya serta kepada yayasan sekolah.
Sebagian merasa iba padanya, dan sebagian pula membodohi Nia dengan tindakannya yang terlalu mudah tergiur pada sesorang yang bahkan tidak pernah ia ketahui wajahnya. Namun walau bagaimnapun itu bukanlah kesalahannya, Nia hanya korban hipnophone. Mungkin bukan hanya dia yang menjadi korban, tetapi juga guru-guru kecil lain yang memiliki angan-angan sama seperti dirinya. Dan itu memang terbukti setelah penyelidikan yang dilakukan oleh salah seorang polisi yang juga merupakan teman di yayasannya.
Nia seperti orang linglung beberapa hari ini, hanya anak-anak di TK Pelangilah yang dapat menghiburnya, juga beberapa guru yang memaklumi keadaannya.
Ia masih punya kesempatan mendapat bantuan dari yayasan serta organisasiny juga guru-guru yang lain untuk mengembalikan uang 10 juta yang hilang itu. Kalau dia sendiri yang mengatasi hal ini, gaji kecilnya tidak akan cukup untuk menutupi kerugian tersebut.mungkin akan butuh waktu seumur hidupnya.
Disaat seperti inilah yang Nia harapkan dapat membantunya lewat partisipasi rekannya juga yayasan. Mereka mengadakan rapat digedung TK malam ini. Kelima guru TK Pelangi hadir disitu, begitu juga pengurus yayasan serta organisasi turut menghadiri rapat. Perdebatan yang rumit ditengah rapat.
Beberapa orang menolak untuk ikut membantu karena mereka berpikir bahwa itu adalah murni kesalahan Nia yang dengan bodohnya percaya begitu saja dengan iming-iming yang tidak masuk akal. Berulang kali Nia membantah hal itu, saat itu Nia memang tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Namanya juga sudah na’as, tidak ada orang yang bisa mengelak.
Namun hal yang paling menyakitkan hatinya adalah, saat Imah, salah seorang guru TK Pelangi yang sekaligus juga teman seperjuangannya membantah serta menolak untuk membantu Nia. Bahkan Imah menolak untuk mengeluarkan dana yayasan selaku bendahara untuk mencairkan dana bantuan senial 2 juta dari kantong kas.
Padahal awalnya Imah yang paling ngotot untuk bisa merasakan cipratan dana bantuan 100 juta tersebut. Tapi sekarang disat seperti ini, Imah sama sekali tidak mau mengeluarkan uang sepersenpun untuk membantu Nia mengurangi kesulitannya. Imah benar-benar sudah lupa dengan kebaikan Nia selama ini yang selalu berusaha untuk bisa mensejahterakan dia juga guru-guru yang lain.
Sepanjang rapat, Imah selalu membodoh-bodohi Nia yang terlanjur tersayat hatinya dengan kata-kata culas temannya. Imah mungkin tidak dapat merasakan penderitaan yang dialami Nia seandainya dia yang ada diposisi Nia. Pasti ia akan merasa serba salah.
Hingga rapat kelima, imah tidak juga mau mengeluarkan dana dari kas, padahal ketua yayasan sudah berulang kali memperingatinya.
Nia selau mencoba untuk bersabar, ia yakin suatu hari Tuhan akan memberikan bantuanya dengan cara lain yang tidak disangka-sangka. Dan doannyapun terkabul, seorang caleg partai yang dikenal oleh ketua yayasan mendengar hal ini, dan mengajukan diri untuk membantu Nia dengan memberikan dana sebesar 5 juta untuk menutupi kerugian. Sebagian kerugiannya akan dikutip perorang dari organisasi.
Nia merasa sangat bersyukur, tak putus-putus ia mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas bantuan yang tak terduga ini. Namun Nia tidak akan pernah lupa dengan olokan Imah yang telah membuatnya teramat sakit hati.
Kini Nia bisa merasa tenang kembali, pagi ini ia hadapi dengan nafas lega tanpa beban yang pernah melesukan semangatnya. Ia bisa memandangi anak-anak TK nya yang ceria mengelilinginya begitu riang.
Nia menghampiri Mita, yang merupakan salah satu guru di TK Pelangi. Ia ingin bercerita tentang semangatnya yang kembali ada juga tidurnya yang nyenyak tak seperti sebelumnya. Mita sedang berbicara dengan seseorang lewat handphone. Wajah terkejut terpasang diraut wajah Mita saat berbicara dengan orang yang ada dibalik telepon. Mata Mita mengarah pada Nia yang ingin segera tahu kenapa wajah Mita seketika berubah aneh.
“Itu tadi bu Imah, dia bilang hari ini ia tidak bisa datang mengajar karena suaminya kecelakaan parah tadi malam.” Ujar Mita memberi tahu. Bukannya wajah simpatik yang muncul diraut muka Nia, ia malah tersenyum mendengar kabar barusan. Doa orang yang teraniyaya memang pasti terkabul, dan hukum karma tetap berlaku.