Selasa, 25 Agustus 2009

namaku sudah mati

Sungguh panas terik matahari ini tak dapat lagi membuatku merasakan panas yang membakar kulit. Serasa aku sudah akrab dengan panas. Ia bagaikan udara segar bagiku. Yah… siapa tahu dengan begini aku juga bisa jadi terbiasa dengan panas neraka, sehingga aku tak perlu menjerit-jerit disana. Namun tak seharusnya aku melibatkan Evi, anak perempuanku yang masih berusia 4 tahun untuk merasakan penderitaan yang aku rasakan saat ini.
Dibalik dinding tembok pagar sebuah rumah mewah yang dulunya adalah tempat tinggalku ini aku bersembunyi. Mengintai dari luar untuk melihat keadaan rumah tersebut. Ku gandeng erat-eraat tangan anakku yang kurus dan hangat. Mungkin ia bingung apa yang sebenarnya dilakukan oleh ibunya di tempat seperti ini setelah pergi dari rumah karena tidak tahan dengan kehidupan yang selama ini serba melarat.
Dan Evipun bertanya padaku. “Kita ngapain sih, ma? Disinikan panas…” Eluh Evi seraya menutup kepalanya dengan sapu tangan usang. Aku terpaksa tersenyum untuk membuat hatinya tidak bingung dan bersikap tenang.
“Sabar ya, nak? Sebentar lagi kamu akan ketemu sama nenek kamu.” Dan aku dapat melihat wajah girang dan senyuman lebar dari bocah mungil ini.
“Nenek? Evi pengen ketemu sama nenek, ma… Evi pengen punya nenek.” Katanya girang seolah tak sabar ingin bertemu dengan neneknya yang selama ini tak pernah kuperlihatkan padanya. Karena neneknya yang sebenarnya itu sudah hampir empat tahun tidak menjadi ibuku akibat kebodohanku sendiri
Aku jadi ingat saat aku masih berumur 16 tahun, saat itu aku masih duduk di kelas 2 SMA. Masa-masa remaja yang terlalu bebas bagiku. Jatuh cinta dengan seorang pria yang juga sangat mencintaiku namun akhirnya berujung penyesalan. Pria itu bernama Firman, sampai sekarang ia masih suamiku. Namun baru 2 jam yang lalu aku memutuskan untuk berpisah dengannya.
Selama aku dan Firman berpacaran, orang tuaku tidak pernah setuju dengan hubungan kami. Karena Firman adalah anak yang berasal dari keluarga miskin dan tidak jelas statusnya. Sedangkan aku berasal dari keluaga yang bisa dibilang kaya dan cukup ternama.
Mama memang tidak salah berbicara seperti itu padaku. Karena dia adalah ibu yang sangat baik dan perhatian pada anak gadisnya. Ia ingin melihat aku bisa sukses, menjadi gadis yang kelak bisa berhasil dan membanggakan keluarga. Setiap hari mama tidak pernah lupa memberiku pesan-pesan positif. Tapi terkadang aku mengabaikannya begitu saja.
Tingkahku semakin menjadi-jadi ketika tahu bahwa hubunganku dengan Firman tidak disetujui oleh orang tuaku. Meskipun Firman adalah orang miskin, tapi aku tahu dia adalah laki-laki yang bertanggung jawab dan pasti bisa berubah menjadi orang yang berhasil, karena dia adalah anak yang baik dan pintar. Namun, hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku hamil diluar nikah diusiaku yang masih belia.
Aku sangat menyesal saat itu, tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan dan apa yang akan aku katakkan pada orang tuaku. Sudah pasti aku akan mempermalukan keluargaku yang selama ini sudah mendidikku baik-baik. Atau mungkin saja aku akan diusir oleh mereka karena perbuatanku yang sungguh memalukkan. Sungguh aku tak ingin membuat mama kecewa atau membuatnya sedih. Akhirnya dengan terpaksa aku meninggalkan pesan lewat surat dan pergi meninggalkan semua yang aku miliki selama ini disaat usia kandunganku 3 bulan. Akupun pergi sejauh mungkin dari rumah dan menikah dengan Firman. Kami berdua terpaksa putus sekolah karena harus menghidupi keluarga.
Kami terpaksa menjadi pekerja kasar karena pendidikkan yang tidak memadai. Akupun ketularan menjadi pemulung seperti Firman. Dan sejak itu juga, aku tidak pernah bertemu dengan keluargaku lagi.
Namun beberapa bulan kemudian, tanpa disengaja aku bertemu dengan Rena, orang yang sempat menjadi sahabatku dulu. Jelas dia sangat terkejut melihat keadaanku saat itu. Ia meminta dan memohon padaku untuk kembali bersama orang tuaku, dia bilang mama sampai sakit karena memikirkan nasibku yang tidak ada kabarnya sama sekali.
“Aku tidak bisa, Ren… aku sudah terlanjur malu dengan keluargaku. Mereka pasti tidak mau menerimaku lagi sebagai anak. Apa kau tidak lihat keadaanku sekarang? Mau ditaruh dimana mukaku?” Kataku sambil menangis dihadapan Rena saat itu.
“Enggak, Sis… mereka masih sayang sama kamu. Pulanglah… kasihan mama kamu. Dia sangat rindu dengan anak perempuannya.” Pinta Rena memohon. Namun aku tetap bersikeras tidak ingin kembali kerumah, walaupun sebenarnya aku ingin sekali.
“Aku sudah punya anak, Ren. Dan aku harus bertanggung jawab dengan keluargaku. Mereka pasti tidak mau menerima Firman sebagai suamiku. Lebih baik kamu pergi dari sini, jangan bilang pada mama kalau kita pernah bertemu.”
“Kamu jahat, Siska! Tega sekali kamu pada mamamu! Aku tahu sebenarnya kamu sangat menyesal meninggalkan semuanya. Apalagi dengan kehidupanmu yang miskin seperti ini. Padahal dulu kamu punya hidup yang serba enak, tapi kamu menyia-nyiakannya.” Dan akupun pergi tanpa menghiraukan kata-kata Rena. Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Rena lagi.
Apa yang dikatakkan Rena memang benar. Aku sangat menyesal, namun entah kenapa penyesalan selalu datang terlambat. aku sempat berpikir kalau kehidupanku mungkin tidak bisa kembali seperti dulu lagi.
Tapi beberapa hari yang lalu, aku mulai merasa bosan dengan kehidupanku yang amat melarat. Aku sudah tidak tahan menjadi seorang pemulung yang kerjanya hanya mengorek-ngorek tempat sampah. Mencari barang–barang bekas yang hasilnya hanya pas-pasan buat makan sehari-hari. Juga kulitku yang menjadi buruk, terlalu banyak sel-sel kulit mati yang timbul akibat keseringan terkena terik matahari dan air yang kotor. Padahal dulunya kehidupanku serba enak, kulitku mulus karena selalu dirawat. Dan saat ini, aku ingin mengembalikan semua itu.
Aku akan masuk kedalam rumah ini dan meminta maaf pada keluargaku, berharap mereka mau menerimaku lagi sebagai anak yang selama ini mereka rindukan. Walaupun sebenarnya aku malu dengan keadaanku yang dekil seperti ini. Tapi itu tidak akan mengurungkan niatku.
Aku kembali melongokkan kepalaku kearah halaman depan rumah. Aku melihat Deny, kakak laki-lakiku yang lebih tua 1 tahun umurnya dariku sedang mencuci mobil honda Jazznya. Aku senang sekali melihat dia. Dulu, Deny itu sangat sayang padaku. Dia selalu memanjakkanku dan tidak pernah berkata kasar bila aku berbuat salah. Aku sangat rindu padanya.
Beberapa menit kemudian aku melihat Rena keluar dari garasi. Aku tak tahu mengapa Rena bisa ada dirumah itu. Dia mengenakkan kaus orange milikku dulu. Sejujurnya aku tidak ikhlas baju itu ia pakai, dan itu menimbulkan rasa heran bagiku. Memang sih dulunya Rena itu sering datang kerumahku, dia sudah seperti saudara sendiri bagi kami. Tapi setahuku, dia tidak pernah datang kerumah sore-sore begini.
Rena berjalan menghampiri Deny yang sedang asyik mencuci mobilnya. Kemudian mengejek Deny dengan kata-kata yang lucu. Mereka berduapun tertawa terbahak-bahak, dengan spontan Deny menyemprotkan air kewajah Rena sampai basah kuyup. Rena menjerit-jerit seraya tertawa dengan tingkah mereka.
Entah kenapa tiba-tiba timbul rasa cemburu didadaku, mereka begitu bahagia, sedangkan aku disini menderita selama bertahun-tahun. Atau mungkin mereka sudah menghapus namaku dari daftar kehidupan mereka.
Lagi-lagi Evi menarik tanganku dan bertanya. “Mereka itu siapa, ma?”
“Laki-laki itu… om kamu, Vi. Dan perempuan itu, sahabat mama dulu.”
“Mereka cocok ya?” Aku tak berkomentar. Justru kata-kata Evi membuatku semakin panas.
Selang beberapa menit, orang yang sangat ingin aku temui keluar dari pintu depan. Aku menangis melihat mama. Tangis sesal, bahagia, juga rasa bersalah, bercampur manjadi satu. Ingin sekali rasanya aku berlari menghampirinya dan memeluk tubuh mama erat-erat tak ingin kulepas. Ingin sekali aku mendengar kata-kata sayang dari bibirnya. Aku sudah tak sabar, ku pegang pagar besi besar ini untuk bisa masuk kedalam.
Kutarik nafas dalam-dalam dan kuusap dadaku yang berdebar-debar. Aku bimbang, ragu dan juga takut. Namun, sejenak aku mendengar percakapan mama dengan mereka.
“Deny! Hentikan! Kamu bisa bikin adik kamu masuk angin… nanti kalau Rena sakit gimana?” Mataku langsung terbelalak, mulutku ternganga mendengar kata-kata yeng keluar dari mulut mama. Adik? Adik Deny? Apa maksudnya?
Aku kembali memasang telinga tajam-tajam, mencoba mencari jawaban. Kulihat mama mendekati Rena dan membasuh muka Rena dengan tangannya. “Kak Deny tiba-tiba nyiram aku, ma…pake air sabun lagi.”
“Deny! Mama gak pengen ada anak mama yang jadi sakit. Sudah cukup main airnya, lihat! Anak gadis mama jadi basah kuyup begini..” Dan Rena merangkul mama kamudian mencium pipi mama dengan manja.
Ini tak lazim, ini tak mungkin. Aku sangat terkejut saat itu juga. Seolah petir berskala besar menghantam tubuhku yang luluh akibat pedihnya luka. Aku tidak percaya semua ini. Sahabatku sendiri, kini menjadi anak dari ibuku sendiri? Ternyata selama aku menghilang, Rena telah menggantikan posisiku sebagai anak dari keluargaku. Rena, yang dulu memohon-mohon memintaku untuk kembali, kini menjadi anak mamaku. Aku sama sekali tidak tahu jalan ceritanya.
Hatiku tersayat, ternyata selama ini aku memang dianggap sudah mati. Aku tidak mungkin melanjutkan niatku ini. Kalau aku kembali kerumah, aku pasti akan sangat malu karena namaku sudah dihapus dari daftar keluarga. Apalagi mereka telah mendapatkan seorang penggantiku. Aku tidak mungkin kembali, tidak mungkin.
Aku menangis sejadinya. Mungkin sudah takdirku untuk menjadi seorang pemulung selamanya dan tidak bertemu dengan keluargaku. Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Evi untuk mempertemukan ia dengan neneknya. Aku makhluk yang malang.
Kini kehidupanku sudah seperti serpihan kaca, tidak akan bisa disatukan kembali beling-beling yang sudah hancur. Andai saja dulu aku mau mengikuti setiap nasihat mama, mungkin hidupku tidak akan separah ini. Tapi kini terlanjur. Kalaupun serpihan kaca itu bisa disatukan, butuh perekat yang kuat sebagai penebus kesalahanku selama ini.
Aku pergi dari tempat ini dengan penuh kesedihan, begitu mata mama memperhatikan diriku.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

thank's for your comment