Saat itu, aku tertegun, memandangmu, wajah mempesona yang sendu. Kau duduk di kursi memandang ke luar jendela, seakan ingin melemparkan hasrat hidupmu di sana. Berteman dengan kebebasan burung-burung atau angin yang berhembus kemana saja. Wajahmu putih nampak pucat –aku ingin membasuh mukamu dengan air hangat dan handuk tebal yang empuk- dan bibir tipis yang selalu mengatup beku. Sejumlah anak rambut jatuh terjuntai di tepi pipi dan telinga. Rambut lurus hitam yang rebah lelap di bahumu.
Semburat matahari hanya tipis menerobos lebatnya daun mangga sehingga tak cukup membuat rumahmu meninggalkan kemuramannya. Cat tembok di sana-sini sudah mengelupas. Rumah kuno yang tinggi ini terlalu kusam dibanding dengan rumah-rumah sepanjang jalan besar. Padahal posisi rumahmu sangat strategis, berada di tengah kota, di depan sekolah swasta terkenal, dan di depannya ada jalan besar dua arah tempat berseliweran kendaraan.
Halamanmu tanah yang berdebu, dan luas tanpa ada tanaman apapun –kecuali Pohon Mangga besar yang menjulang menembus kabel-kabel listrik. Beranda sudah rusak di sana-sini dengan adonan semen dan pasir yang rontok. Pernah aku numpang di kamar mandi belakang dan sepanjang yang kulihat adalah tembok yang kerontang dan rapuh. Bilangan kayunya sudah mulai gapuk. Nampaknya rumah ini perlu segera direhab. Sedang ruang depan amat kering nyaris tanpa hiasan dinding dan ornamen lain. Melompong putih. Tanpa plafon, genting-genting tampak kusam.
Aku langsung diseret oleh perasaan suka sekaligus simpati saat pertama memandangmu. Kau membisu, entah sejak kapan. Sesaat memandang wajahmu dengan sorot mata sembilu itu aku langsung jatuh hati. Niatku mengunjungi temanku yang juga kakakmu, kini berubah menjadi hasrat untuk menemanimu.
Dan selalu kulihat kau duduk di kursi itu. Memandang keluar jendela. Diam. Tanpa gerakan sekecil apapun, kecuali kelopak matamu yang mengatup pelan lalu membuka lagi. Aku sebenarnya ingin sekali berbincang denganmu tapi sikap bekumu yang seperti telah bertahun-tahun itu menjadi daya tolak yang menjengkangku. Aku dengan perasaan malu-malu dan dengan cara halus menanyakan perihalmu pada kakakmu.
"Adikmu sakit?" aku berkata seolah melepaskan beban yang amat berat.
"Iya." jawab kakakmu dengan wajah laksana tertusuk ribuan jarum yang membuatku merasa bersalah.
"Maaf…" kataku pelan.
"Tak apa, sudah lama. Diam tak mau bicara…" Temanku seperti dilemparkan ke masa lalu yang sedih dan gelap. Suasana menjadi beku dan tak mengenakkan.
***
Kembali aku berkunjung karena wajahmu yang selalu terbayang dan posisi dudukmu yang berjibaku dengan kursi kusam membuatku jatuh hati.
Kakakmu menemui dengan sikapnya yang renyai. Setelah berbasa-basi, aku bertanya.
"Adikmu sakit apa?" Sudah begitu lama pertanyaan itu mengeram di dada. Sejak kali pertama melihatmu, namun aku tak sampai hati mengucapkannya dan kini setelah melalui pertimbangan yang amat lama, pertanyaan itu berhasil aku ucapkan, walau batinku tetap gamang.
"Entahlah…" jawab temanku dengan lenguhan napas yang berat dan panjang.
"Sudah diobati ke mana-mana. Ke paranormal juga," tambah temanku seolah dengan mendengar penjelasannya itu aku merasa lebih baik.
Lalu aku mulai rajin mengunjungi temanku untuk mencuri pandang padamu.
Hingga aku harus pergi jauh ke luar propinsi untuk kuliah di Jogja. Tak ada yang bisa aku lakukan, selain s menyuratimu. Menciptakan kata-kata ajaib yang kuharap bisa meringankan hatimu.
Aku tak tahu sudah berapa kali menyuratimu –tentu lewat tujuh kali. Mengutip karya Khalil Gibran, syair Iwan Fals, atau puisi Rendra. Kadang di suratku aku mendongeng tentang berbagai cerita rakyat atau menjiplak sebagian tulisan di buku-buku dongeng luar negeri. Kuharap dengan itu bisa membuat hatimu riang dan tersenyum.
Lalu suatu saat aku bisa pulang dengan hasrat menengokmu.
Masih dengan rumah kuno dengan tembok tinggi dan besar yang kusam. Halaman tanah yang luas dan kering berdebu. Tak ada tanaman apapun kecuali pohon mangga yang terlalu besar itu.
Bibir yang masih mengatup dan beku. Kulitmu yang putih susu memucat dan leher menguning menyangga kepalamu yang diam. Matamu bulat dengan pandangan menerawang, alis tebal yang berjajar erat. Secara keseluruhan kau makin pucat walau tetap memesona.
Hingga aku mendapat cerita yang menguak perihalmu. Bermula dari rebutan lahan warisan --tanah memang seperti pusaka dan tanda harkat kepemilikan. Kakekmu bersilang sengketa dengan saudara tiri dan pertikaian tak hanya fisik tapi juga dunia gaib. Tiba-tiba saudara tiri itu mati mengenaskan, dan kabar menyebar: kakekmu berhasil mengguna-guna dan tebusannya adalah salah seorang keturunannya bakal sakit pikiran. Begitulah cerita itu.
Kau yang sama sekali tak bersalah menerima akibat senestapa ini. Cerita yang makin mengukuhkan perasaanku padamu.
Selalu aku membayangkan membelikanmu kursi roda untuk mengganti kursi kusam yang selalu menemanimu. Lalu mengajakmu berjalan-jalan menghirup udara luar yang segar. Merasakan kulit kita dibakar matahari, menuju taman di sekolah depan, mencoba menangkap kupu-kupu atau kecapung, dan melihat angkasa dengan layang-layang, burung-burung, dan mega-mega.
Aku yakin kau tak tahu jika matahari mulai tenggelam, di gedung pojok perempatan sana melalui jendela akan keluar berbondong-bondong ribuan kelelawar terbang mengoyak langit yang temaram. Aku yakin pula jika melihat kelelawar-kelelawar itu kau akan takjub dan kuharap hatimu menjadi terbuka.
Aku amat senang jika melihatmu tersenyum.
***
Aku berusaha terus merobohkan rasa malu terhadap kakakmu dan keluargamu agar selalu bisa disampingmu. Bapakmu serupa makhluk sunyi yang dingin dan beku. Untung pribadi hangat yang menjadi seperti teman buatku. Ia paling pertama tahu soal hasratku yang selalu berbinar menatapmu. Kukira ia tahu perasaanku. Dan alangkah mengertinya dia yang segera mengajakku terlibat untuk dekat denganmu.
Menatap parasmu yang jelita, jantungku berdegup lebih keras. Kau teramat cantik dalam 'kediaman' seperti ini.
Aku selalu merindukan matamu agar lebih sering berkedip. Aku takut dengan terlalu lama menerawang bisa membuat matamu jadi sakit. Aku akan bersorak gembira jika kau mau tersenyum; itulah kebahagiaan terbesarku.
Sayang waktuku dibatasi jadwal kuliah. Aku harus kembali dan mengambil cuti agar bisa lebih lama membersamaimu. Lalu aku kembali ke Jogja untuk mengurusnya. Ketika pulang aku melihatmu begitu lemahnya.
Bersama kakakmu aku segera menebas beberapa dahan mangga agar matahari lebih leluasa menyinari kamarmu. Sinarnya akan membuat rumahmu menjadi lebih terang dan hangat. Juga membenahi beberapa tempat yang temboknya rontok dan mengecatnya. Menanam sejumlah tanaman hias di halaman dan memasang beberapa hiasan dinding di kamarmu. Aku berharap suasana kemuraman di seluruh rumahmu berganti menjadi kenyamanan dan rasa tentram.
Kembali aku berusaha selalu di sampingmu. Berdendang, bercanda, mendongeng, dan kulihat kau kembali bersemangat. Lalu mulutmu mau membuka lagi dan suap demi suap makanan dan minuman masuk dan membuat tubuhmu tak terlalu pucat lagi. Melihat kursi kusam itu aku segera membelikanmu kursi roda.
Setiap sore aku menjengukmu. Bersama ibumu memindahkan dudukmu di kursi roda. Setelah bertahun-tahun akhirnya kau bisa keluar rumah. Awalnya kau nampak takut dengan udara luar yang lebih kering dan kencang, juga sinar matahari yang menggigit. Tapi lama-kelamaan kau lebih berani dan kita bisa berjalan-jalan lebih jauh.
Biasanya wajahmu nampak menegang ketika merasa takut, dan genggamanmu lebih erat pada lengan kursi. Akupun segera berhenti untuk duduk sejajar denganmu dan memberikan rasa tentram melalui sentuhan tanganku di lenganmu. Membiarkanmu sejenak mengatasi rasa cemas.
Lalu ketika ada sepasang kupu-kupu yang berkitaran diantara bunga-bunga, matamu mengerjap dan menyorot kuat. Aku mendorong kursimu agar mendekat, sayang kupu-kupu itu keburu terbang. Aku gembira melihat matamu lebih hidup dan tak sayu lagi.
Hingga perjalanan kita makin jauh sampai menyusuri jalur lambat tepi trotoar. Menikmati teduhnya pohon-pohon rindang dan lalu-lalang kendaraan. Sampai kuingin kita berhenti di sini, berhadapan dengan gedung tua yang menjulang itu, menunggu datangnya kelam dan ribuan kelelawar berbondong-bondong keluar.
Saat saat aku merasa bahagia karena membawamu. Menikmati udara sore yang mulai dingin, dengan matahari yang bulat merah sebesar tampah, dan mendung tipis bergelayutan. Kelam mulai turun. Oh! akhirnya muncul ribuan kelelawar keluar dari jendela gedung. Kau nampak terkejut lalu matamu bersinar demikian kuat, urat-urat pipi dan wajahmu lebih kencang, matamu seperti takjub, lalu kau tersenyum!
Aku sangat bahagia. Inilah peristiwa yang kutunggu-tunggu, melihatmu tersenyum! Senyum yang membuatmu makin jelita.
Seumurku baru sekali ini aku merasakan kebahagiaan yang begitu mengguncang. Aair mataku menetes, dadaku membumbung melihatmu tersenyum untuk kedua kali. Lebih lebar! Menampakkan gigi-gigimu bagian depan. Kelelawar-kelelawar itu terus dan terus saja berbondong-bondong keluar dan terbang menjaring udara. Sayapnya kembang-kempis memompa udara menyeberang angkasa.
Kelelawar-kelelawar terus berbondong-bondong dan langit makin kelam.
Gelap menerjang dan kita terpaksa kembali, pulang dengan hati bahagia.
***
Kau terlihat lebih segar dan mulutmu membuka lebih lebar.
"Ia lebih suka 'nak suapi..!" kata ibu, "mulutnya lebih lebar daripada aku yang menyuapi," tambahnya.
Dan setiap sore aku yang menyuapimu lalu mengajakmu berjalan-jalan. Menatap taman dengan bunga-bunga dan kadang-kadang kupu-kupu atau kecapung, menyusuri jalur lambat, serta menanti tergelincirnya matahari lalu rombongan kelelawar yang keluar memenuhi angkasa. Nampak senyummu makin lebar. Gigi-gigimu makin banyak terlihat.
Hari demi hari. Segarnya udara sore, matahari merah yang ranum, kupu-kupu, kecapung, roda-roda kendaraan, deru gas dan bel kencang, dan terutama rombongan kelelawar mengangkasa membuat hatimu makin terbuka.
Senyummu bertambah lebar, makanmu bertambah lahap, dan matamu lebih hidup. Tak lagi lama menerawang.
Hatiku sangat bahagia.
Sayang cutiku habis. Aku hendak kuliah tapi terkurung rasa khawatir yang amat kuat. Aku cemas dan takut.
"Tidak apa-apa 'nak, kuliah adalah tugas utamamu," kata-kata ibumu menguatkan hatiku.
Namun dadaku sesak setiap mengingat akan meninggalkanmu dalam kondisi yang mulai membaik. Hatiku gamang. Apalagi ketika kemarin sore aku mengantarmu jalan-jalan, walau selintas matamu mulai berani menatapku. Mata serupa telaga.
Aku nekat untuk kembali kuliah; pilihan yang akhirnya aku sesali seumur hidup. Aku terpukul.
Apakah kau tak mengerti bahwa aku hanya meninggalkanmu sebentar untuk kemudian kembali lagi…
Aku segera tapi terlambat. Kau terbaring demikian lemah, dengan mata tertutup, dan mulut pucat mengatup beku. Dadaku sesak… Terdengar suara keras menderak.
"Bangsat! Ini pasti ulahnya."
Aku terkejut. Itu suara bapakmu yang baru pertama kali kudengar. Kebekuannya ambrol melihatmu senestapa ini.
Mengenangmu, jiwaku meraung penuh rasa sesal. Aku lemah dan letih. Tubuhku melayang seperti kapas yang dikibas udara. Dunia gelap. Aku terjatuh entah di mana. Semua gulita dan kelam. Muram, sunyi. Hatiku menggigil, aku sangat sepi.
Air mataku kerontang. Gelap dan hampa.
***
Solo, Juli 2007, Han Gagas
Sabtu, 30 Juni 2012
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)