Aku dan saudara perempuanku, ia bernama Risti. Ia bukan hanya saudara perempuanku, tetapi merupakan sebagian dari belahan tubuhku tatkala kami dilahirkan dengan jarak waktu enam menit saja. Aku dan Risti adalah saudara kembar identik dimana hampir semua yang ada pada bagian tubuh kami memiliki kesamaan yang sulit dibedakan. Sama dalam fisik bukan berarti sama dalam segala hal. Kenyataanya sifat kami terkadang jauh berbeda, Risti adalah tipe gadis yang lebih suka terbuka secara frontal sedangkan aku cenderung tertutup dan sulit untuk mengungkapkan sesuatu secara terbuka. Dalam hal karir, entah mengapa ia bisa lebih sukses dari aku. Aku dan Risti memang bekerja di bidang yang berbeda, ia lebih menyukai design graphis dan bekerja disalah satu perusahaan advertising ternama di Indonesia. Sedangkan aku lebih memilih menjadi seorang wartawan dan menghabiskan hari-hariku bekerja di luar kantor tak peduli siang ataupun malam. tapi terus terang saja, karier Risti dua kali lebih cepat menanjak dibandingkan aku. Dia sudah mempunyai lima kartu kredit berjajar di dompetnya, sedangkan aku hanya punya dua itupun annual fee.
Yahh ironis sekali terkadang, dan sekarang aku bukan lagi mempermasalahkan kesuksesan dan kelebihan saudara kembarku sendiri, melainkan persoalan cowok yang bisa dikatakan lebih mendidihkan emosi serta kesakitan hatiku padanya. Bukan karena Risti tidak tahu menahu tentang perasaanku pada Rayyan, untuk kedua kalinya dalam hidupku aku mengatakan yang sejujurnya dan berani terbuka padanya bahwa aku sangat mengagumi Rayyan, seorang pria sekaligus rekan kerja Risti yang pernah ia kenalkan kepadaku tiga bulan lalu.
Aku seolah merasa bahwa pria itu adalah takdirku untuk menjadi pasangan hidupku kelak, aku menyukai wajah tampannya, aku menyukai tutur katanya yang lembut dan bijaksana, aku suka… aku suka segalanya yang ada pada Rayyan, sampai-sampai sulit menjelaskan bagaimana perasaanku terhadapnya. Setiap kali ia datang kerumah bersama Risti, mendengarkan ia berbicara dan mengobrol bersamaku membuatku hampir kehilangan kata-kata, aku jadi seperti anak autis yang hanya menjawab bila di tanya, menunduk setiap kali Rayyan melihat mataku. Tapi benar-benar, ini perasaan luar biasa yang pernah aku rasakan, aku seolah membabi buta ketika menyadari bahwa Rayyan sepertinya tidak menyukaiku namun lebih menyukai Risti. Aku sering memergoki mereka ngobrol lewat telfon, jalan berdua dan mereka begitu dekat.
Gila! Padahal Risti sudah punya Bagas dan pria mana lagi yang harus ia kencani. Jika aku sudah nekad, barangkali aku akan mengatakan semuanya kepada Bagas tentang kedekatan Risti dengan Rayyan, karena aku ingin tahu seberapa besar reaksi Bagas terhadap ini semua.
Ini hari minggu. Aku tahu bi Weih pasti akan membuatkan makanan untukku dan Risti seperti biasa, setidaknya gorengan. Tidak ada peran ibu dirumah ini, karena sejak dua tahun yang lalu mama memutuskan untuk bekerja di Malaysia dan membuka butik produk Indonesia, entah kenapa, padahal kami sudah mati-matian mencegah mama untuk bekerja di Negara Melayu yang hubungannya cenderung tidak bersahabat dengan Indonesia. Tapi itu sudah menjadi pilihannya, untuk meninggalkan kedua anak gadisnya menjalani hidup di Jakarta hanya dengan seorang perempuan setengah baya yang dengan sangat baik hatinya mengurusi kami.
“Mana goreng pisang Rasti, bi?” tanyaku pada bibi Weih yang sedang sibuk memotong rapi kue lapis.
“Kali ini kue lapis ya,mbak Ras… mbak Risti tadi yang minta katanya untuk tamunya.”
Aku sedikit manyun, tapi tak apalah tak semestinya memang kesukaanku yang harus dituruti bi Weih. “Memang siapa tamunya, bi?”
“mas Rayyan. Tuh lagi ngobrol di teras depan.”
Aku mendadak mendelikkan mata, hatiku meluap gembira lantas melesat cepat ke arah teras, aku tidak pernah lupa merapikan rambutku yang sedikit berantakkan lalu menyambut hangat Rayyan dengan senyuman termanis. Mumpung tidak ada Risti, pikirku.
“Udah siap, Ris?” Tanya Rayyan.
“Ya ampun Rayyan… aku Rasti bukan Risti, masa belum hafal juga sih?” ujarku mengkoreksi sambil duduk di kursi kosong tepat dihadapannya. Paling tidak ini kesempatanku untuk bisa memandanginya lebih dekat.
Ia meringis senyum lantas tertawa kecil “oh, maaf… sumpah sampai sekarang aku sulit membedakan kalian berdua.”
“Gak apa-apa, aku maklum kok.” Kataku berbaik hati. “mmm.. memangnya kalian berdua mau pergi kemana?”
“Ada urusan sebentar. Kamu sendiri? Hari minggu gak pergi kemana-mana?”
“Enggak, lagi gak ada temen yang bisa diajak keluar, biasalah tanggal tua.” Rayyanpun tertawa, dan obrolan kamipun berlanjut panjang sampai bi Weih berhasil menghidangkan kue lapisnya untuk Rayyan. Namun lima belas menit kemudian giliran Risti muncul di balik pintu dengan dandanan mempesonanya.
Saat ia tersenyum pada Rayyan dan mengajaknya pergi, aku seolah melihat pelacur di dalam diri Risti, kenapa sih ia tidak bisa sebentar saja membiarkanku senang?
“Ras, aku pergi dulu ya sama Rayyan ada urusan sebentar, entar sebelum maghrib juga udah balik.”
Dan merekapun pergi, sedangkan Rayyan hanya meninggalkan senyum terindahnya untukku. Setidaknya hanya itulah yang bisa membuat hatku menjadi sedikit dingin.
***
Mendesahkan nafas adalah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk bersabar. Ya… mungkin aku harus belajar mengalah dan ikhlas pada adik perempuanku, kalaupun ia lebih menyukai Rayyan, bagaimanapun caranya aku harus bisa menerima itu semua. Aku melamun sejenak, memandangi PS3. Aku rindu saat-saat seru dimana aku dan Risti memainkan game Atelier Meruru. namun seketika lamunanku buyar tatkala mendengar telfon di ruang tengah berdering tak henti-henti. Akupun dengan berat hati menjawabnya.
“Hallo? Oh.. Rayyan, ada apa yan?” tanyaku sedikit terkejut setelah tahu bahwa ada suara pria itu lagi dibalik telfon sana. Tapi sayangnya, ia menelfon untuk Risti dan bertanya mengenai janji mereka untuk pergi keluar. Sambil mendesahkan nafas, akupun terpaksa ke kamar Risti untuk menyerahkan telfon.
Risti ada di atas kasurnya, duduk dengan menyelonjorkan kaki seperti orang tak berdaya. “Rayyan telfon, Ris!” ujarku sambil menyerahkan telfon itu.
“Rayyan?” Wajahnya menampakkan raut kebingungan, nafasnya naik turun tak teratur, sepertinya penyakit sesak nafasnya kambuh lagi, tapi ia berusaha untuk bisa bernafas dengan baik. Aku masih tetap berada disitu mendengarkan percakapan mereka lewat telfon meskipun aku tidak bisa mendengar suara Rayyan. Tapi barusan saja ku dengar Risti menyetujui rencana kencannya lantas menyudahi pembicaraan.
“Risti, asmamu kambuh lagi?” tanyaku cemas, sungguh aku tidak tega melihat wajahnya yang sangat pucat itu. “sebaiknya kamu gak usah pergi, nanti tambah parah. Ini pasti karena akhir-akhir ini kerja lembur terus makanya kambuh, harusnya kamu jaga kesehatan kamu donk.” Aku mengomel seperti ibu guru yang sedang menghukum siswanya.
“Udah, aku enggak apa-apa kok, aku Cuma butuh bantuan kamu.” Pintanya, akupun duduk di sampingnya untuk mendengarkan. “kamu maukan menggantikan aku buat ketemu sama Rayyan?”
“HAHH!!” aku terkejut, ini ide gila pikirku. “mana mungkin, Ris! Masa aku yang pergi.”
“Tolong, Ras aku gak bisa pergi dalam keadaan seperti ini, untuk kali ini saja kumohon.”
“Tapi bagaimana nanti kalau Rayyan tahu aku bukan kamu, dia pasti akan sangat kecewa dan, apa lagi aku, aku pasti malu.”
Risti menarik nafasnya kesulitan, bagaimana bisa wajahnya semakin pucat seperti itu.
“Enggak, Ras! Rayyan gak akan tahu, percayalah”
Aku berpikir keras, aku sangat ingin membantunya tapi disisi lain aku tidak tega meninggalkan Risti dalam keadaan seperti ini, meski beberapa hari ini hubunganku dengan Risti tidak begitu baik, tapi aku tetap mencemaskannya. Sejak kecil Risti memang sering sakit-sakitan, tubuhya lebih lemah daripada aku. Tapi sepertinya ini adalah permintaan yang sangat serius, akhirnya mau tidak mau akupun menyetujui keinginannya.
Pukul delapan malam, akhirnya dengan sangat berat hati aku pun pergi ke café tempat dimana Risti memberi tahuku akan pertemuanku dengan Rayyan. Sisi positifnya hanya pada poin dimana aku bisa bertemu dengan Rayyan, tapi seharusnya tidak sebagai Risti, tapi Rasti.
Kulihat Rayyan telah duduk di meja nomor 21, duduk rapi dengan setelan kemeja dan jacket kulit mahalnya. Subhanalloh… dia sungguh tampan. Sumpah mati jantungku berdegup kencang sampai-sampai tenggorokanku seolah tersumbat. Aku gugup, sangat gugup. Namun kuberanikan diri untuk menghampirinya, sembari memastikan bahwa gaun pilihanku ini telah membantuku untuk tampil sempurna,
“Hai Ray, udah nunggu lama?” tanyaku. Dan iapun berdiri sambil tersenyum, ya Allah… senyum itu lagi. Untung aku sudah berpegangan pada kursi, kalau tidak mungkin aku sudah jatuh terkulai akibat senyum si tampan itu.
“Rasti, kamu cantik sekali malam ini.” Serasa sapaan itu membuatku kaget kepalang tanggung. Belum apa-apa Rayyan sudah tahu kalau aku bukan Risti.
“Aku Risti, Ray… bukan Rasti” sangkalku, tapi ia malah tertawa.
“Aku sudah tahu kamu Rasti, ini semua adalah rencana Risti supaya aku bisa bertemu denganmu. Anggap saja sebagai kejutan.”
Aku jadi merasa seperti orang tolol yang tak tahu apa-apa. Mengapa Rsiti menyuruhku melakukan ini, ku akui ia telah berhasil mengelabuiku dengan pura-pura sakit agar aku bisa menurunkan belas kasihan terhadapnya dan menyetujui rencana tololnya ini. Gila saja, kali ini aku benar-benar marah padanya.
Tapi tidak secepat itu, Rayyan menjelaskan semuanya. Tentang perasaannya yang selama ini ia sembunyikan kepadaku, bahwa ia tak punya keberanian untuk mengatakan bahwa ia juga sangat menyukaiku, bukan menyukai Risti. Ia bercerita tentang alasan kenapa ia sering menelfon Risti dan pergi bersama, ternyata hanya karena ia ingin tahu lebih dalam tentangku. Aku terdiam mendengar semua itu, dan sama sekali tak bisa berkata apa- apa saat Rayyan menyatakan cinta padaku. Dengan tutur lembutnya yang membuatku hampir melayang dan sama sekali tak bisa menolak niatnya untuk menjadikanku kekasihnya
Aku telah salah, menilai Risti. Seharusnya aku tidak bersikap dingin terhadap saudara perempuanku, ia telah melakukan banyak hal untukku terutama soal Rayyan. Saat aku pulang nanti aku pasti akan sangat berterima kasih dan meminta maaf pada Risti, karna Ristilah aku dapat menghabiskan malamku bersama Rayyan dengan sangat behagia. Rayyan mengajakku nonton bioskop jam midnight, aku sampai lupa waktu sangking bahagianya. Seakan lupa pada semuanya, lupa pada jam yang telah menunjukkan hampir pagi. Saat Rayyan mengantarku pulang, aku terlalu mengantuk sampai tak menyadari tubuhku tertidur di sofa.
“Mbak Rasti bangun mbak!” bi Weih berusaha membangunkanku, akupun terpaksa membuka mata dan bangkit saat menyadari hari ternyata sudah sangat cerah.
“Bibi?! Maaf aku ketiduran di sofa, Risti mana?” tanyaku masih dengan wajah linglung.
“Itu dia yang mau bibi kasih tahu, tadi malam mbak Risti masuk rumah sakit.”
“Apa!!” aku sangat terkejut dengan kabar barusan. “Risti masuk rumah sakit? Kenapa bibi gak kasih tau Rasti dari tadi malam? Memangnya dia kenapa”
“Tadi malam mbak Ris pingsan hampir kehilangan nafas mbak, kata dokter penyakit jantung bawaanya kambuh lagi, mbak Risti sendiri yang gak mengizinkan bibi buat telfon mbak Rasti, dia bilang nanti saja kalau mbak Ras udah pulang, takut ganggu mbak Ras katanya.”
Ya Tuhan… sebegitu pedulinya Risti kepadaku. Disaat-saat ia sekarat seperti itu, masih saja memikirkan kebahagiaanku. Seharusnya aku tidak meninggalkannya, seharusnya kau bisa lebih menjaganya dan tidak mementingkan kebahagiaanku semata hanya karena laki-laki. Aku telah salah mengira kalau dia hanya sakit pura-pura. Aku telah dua puluh dua tahun hidup bersama dengan Risti, barangkali ini salahku karena tidak menjaganya dengan sangat hati-hati, malah mencemoohnya dan bersikap tidak mau tahu. Aku mengutuk diriku sendiri, menangis sejadinya dengan penyesalan selama kakiku tanpa lelah menembus koridor rumah sakit.
Kulihat Bagas duduk di kursi tunggu merenung, kemudian menatapku penuh heran. Ternyata ia telah mendahuluiku. Tak peduli lagi, aku masuk kedalam. Saat mendapati Risti terbaring lemah tak berdaya aku semakin menangis tak terhenti, kuraih tangannya yang dingin dan kulihat sekujur tubuhnya yang tak bergerak sama sekali. Lewat sentuhan itu, aku bisa merasakan bagaimana rasa sakit itu sangat membuatnya menderita. Selang oksigen yang menancap dihidungnya, infuse yang menembus lengannya dan rasa sakit di dadanya itu, aku ingin berbagi denganmu Ris…
“Bangun Ris, aku disini.” Suaraku lirih membangunkannya, tersenyum aku ketika melihat Risti akhirnya membuka mata dan menoleh kearahku untuk menunjukkan senyum kecilnya.
“Rasti, kamu udah pulang?” aku senang mendengar suaranya yang sangat teduh, tak kusangka ia masih sempat bertanya seperti itu kepadaku.
“Iya, Ris.. kamu jahat, kenapa gak kasih tahu aku kalau kamu sakit? Seharusnya aku bisa menjaga kamu.”
“Hey, jangan menangis, aku Cuma gak mau ganggu kencan pertama kamu.”
Air mataku keluar lagi, ku belai rambut Risti dengan penuh kasih sayang. “Gak adil, Ris. Kamu kesakitan disini sedangkan aku bersenang-senang diluar sana.” Ya Tuhan aku tak tahu harus bagaiman mengatur suaraku agar bisa berbicara seolah-olah aku kuat, karena sesunguhnya aku juga lemah apabila melihat Risti menderita.
“aku minta maaf selama ini telah menyangkamu yang macam-macam, aku sayang sama kamu. Kita dilahirkan sama, susah senangpun kita harus bersama.” Suaraku gemetar, kugenggam kuat-kuat tangan Risti yang masih dingin. “mulai sekarang aku janji gak akan mengecewakanmu dan akan melakukan apapun untukmu asalkan kamu bisa sembuh,Ris...” Aku menarik nafas, lantas tersenyum padanya.
“kalau kamu sudah sembuh dan pulang kerumah, kita akan bermain Atelier Meruru lagi.” iapun tersenyum kepadaku lalu tertidur dalam penjagaanku.
Selasa, 17 Juli 2012
Sabtu, 30 Juni 2012
Gadis Yang Selalu Duduk di Kursi dan Memandang ke Luar Jendela
Diposting oleh
innda calalo
di
12.54
Saat itu, aku tertegun, memandangmu, wajah mempesona yang sendu. Kau duduk di kursi memandang ke luar jendela, seakan ingin melemparkan hasrat hidupmu di sana. Berteman dengan kebebasan burung-burung atau angin yang berhembus kemana saja. Wajahmu putih nampak pucat –aku ingin membasuh mukamu dengan air hangat dan handuk tebal yang empuk- dan bibir tipis yang selalu mengatup beku. Sejumlah anak rambut jatuh terjuntai di tepi pipi dan telinga. Rambut lurus hitam yang rebah lelap di bahumu.
Semburat matahari hanya tipis menerobos lebatnya daun mangga sehingga tak cukup membuat rumahmu meninggalkan kemuramannya. Cat tembok di sana-sini sudah mengelupas. Rumah kuno yang tinggi ini terlalu kusam dibanding dengan rumah-rumah sepanjang jalan besar. Padahal posisi rumahmu sangat strategis, berada di tengah kota, di depan sekolah swasta terkenal, dan di depannya ada jalan besar dua arah tempat berseliweran kendaraan.
Halamanmu tanah yang berdebu, dan luas tanpa ada tanaman apapun –kecuali Pohon Mangga besar yang menjulang menembus kabel-kabel listrik. Beranda sudah rusak di sana-sini dengan adonan semen dan pasir yang rontok. Pernah aku numpang di kamar mandi belakang dan sepanjang yang kulihat adalah tembok yang kerontang dan rapuh. Bilangan kayunya sudah mulai gapuk. Nampaknya rumah ini perlu segera direhab. Sedang ruang depan amat kering nyaris tanpa hiasan dinding dan ornamen lain. Melompong putih. Tanpa plafon, genting-genting tampak kusam.
Aku langsung diseret oleh perasaan suka sekaligus simpati saat pertama memandangmu. Kau membisu, entah sejak kapan. Sesaat memandang wajahmu dengan sorot mata sembilu itu aku langsung jatuh hati. Niatku mengunjungi temanku yang juga kakakmu, kini berubah menjadi hasrat untuk menemanimu.
Dan selalu kulihat kau duduk di kursi itu. Memandang keluar jendela. Diam. Tanpa gerakan sekecil apapun, kecuali kelopak matamu yang mengatup pelan lalu membuka lagi. Aku sebenarnya ingin sekali berbincang denganmu tapi sikap bekumu yang seperti telah bertahun-tahun itu menjadi daya tolak yang menjengkangku. Aku dengan perasaan malu-malu dan dengan cara halus menanyakan perihalmu pada kakakmu.
"Adikmu sakit?" aku berkata seolah melepaskan beban yang amat berat.
"Iya." jawab kakakmu dengan wajah laksana tertusuk ribuan jarum yang membuatku merasa bersalah.
"Maaf…" kataku pelan.
"Tak apa, sudah lama. Diam tak mau bicara…" Temanku seperti dilemparkan ke masa lalu yang sedih dan gelap. Suasana menjadi beku dan tak mengenakkan.
***
Kembali aku berkunjung karena wajahmu yang selalu terbayang dan posisi dudukmu yang berjibaku dengan kursi kusam membuatku jatuh hati.
Kakakmu menemui dengan sikapnya yang renyai. Setelah berbasa-basi, aku bertanya.
"Adikmu sakit apa?" Sudah begitu lama pertanyaan itu mengeram di dada. Sejak kali pertama melihatmu, namun aku tak sampai hati mengucapkannya dan kini setelah melalui pertimbangan yang amat lama, pertanyaan itu berhasil aku ucapkan, walau batinku tetap gamang.
"Entahlah…" jawab temanku dengan lenguhan napas yang berat dan panjang. "Sudah diobati ke mana-mana. Ke paranormal juga," tambah temanku seolah dengan mendengar penjelasannya itu aku merasa lebih baik.
Lalu aku mulai rajin mengunjungi temanku untuk mencuri pandang padamu.
Hingga aku harus pergi jauh ke luar propinsi untuk kuliah di Jogja. Tak ada yang bisa aku lakukan, selain s menyuratimu. Menciptakan kata-kata ajaib yang kuharap bisa meringankan hatimu.
Aku tak tahu sudah berapa kali menyuratimu –tentu lewat tujuh kali. Mengutip karya Khalil Gibran, syair Iwan Fals, atau puisi Rendra. Kadang di suratku aku mendongeng tentang berbagai cerita rakyat atau menjiplak sebagian tulisan di buku-buku dongeng luar negeri. Kuharap dengan itu bisa membuat hatimu riang dan tersenyum.
Lalu suatu saat aku bisa pulang dengan hasrat menengokmu.
Masih dengan rumah kuno dengan tembok tinggi dan besar yang kusam. Halaman tanah yang luas dan kering berdebu. Tak ada tanaman apapun kecuali pohon mangga yang terlalu besar itu.
Bibir yang masih mengatup dan beku. Kulitmu yang putih susu memucat dan leher menguning menyangga kepalamu yang diam. Matamu bulat dengan pandangan menerawang, alis tebal yang berjajar erat. Secara keseluruhan kau makin pucat walau tetap memesona.
Hingga aku mendapat cerita yang menguak perihalmu. Bermula dari rebutan lahan warisan --tanah memang seperti pusaka dan tanda harkat kepemilikan. Kakekmu bersilang sengketa dengan saudara tiri dan pertikaian tak hanya fisik tapi juga dunia gaib. Tiba-tiba saudara tiri itu mati mengenaskan, dan kabar menyebar: kakekmu berhasil mengguna-guna dan tebusannya adalah salah seorang keturunannya bakal sakit pikiran. Begitulah cerita itu.
Kau yang sama sekali tak bersalah menerima akibat senestapa ini. Cerita yang makin mengukuhkan perasaanku padamu.
Selalu aku membayangkan membelikanmu kursi roda untuk mengganti kursi kusam yang selalu menemanimu. Lalu mengajakmu berjalan-jalan menghirup udara luar yang segar. Merasakan kulit kita dibakar matahari, menuju taman di sekolah depan, mencoba menangkap kupu-kupu atau kecapung, dan melihat angkasa dengan layang-layang, burung-burung, dan mega-mega.
Aku yakin kau tak tahu jika matahari mulai tenggelam, di gedung pojok perempatan sana melalui jendela akan keluar berbondong-bondong ribuan kelelawar terbang mengoyak langit yang temaram. Aku yakin pula jika melihat kelelawar-kelelawar itu kau akan takjub dan kuharap hatimu menjadi terbuka.
Aku amat senang jika melihatmu tersenyum.
***
Aku berusaha terus merobohkan rasa malu terhadap kakakmu dan keluargamu agar selalu bisa disampingmu. Bapakmu serupa makhluk sunyi yang dingin dan beku. Untung pribadi hangat yang menjadi seperti teman buatku. Ia paling pertama tahu soal hasratku yang selalu berbinar menatapmu. Kukira ia tahu perasaanku. Dan alangkah mengertinya dia yang segera mengajakku terlibat untuk dekat denganmu.
Menatap parasmu yang jelita, jantungku berdegup lebih keras. Kau teramat cantik dalam 'kediaman' seperti ini.
Aku selalu merindukan matamu agar lebih sering berkedip. Aku takut dengan terlalu lama menerawang bisa membuat matamu jadi sakit. Aku akan bersorak gembira jika kau mau tersenyum; itulah kebahagiaan terbesarku.
Sayang waktuku dibatasi jadwal kuliah. Aku harus kembali dan mengambil cuti agar bisa lebih lama membersamaimu. Lalu aku kembali ke Jogja untuk mengurusnya. Ketika pulang aku melihatmu begitu lemahnya.
Bersama kakakmu aku segera menebas beberapa dahan mangga agar matahari lebih leluasa menyinari kamarmu. Sinarnya akan membuat rumahmu menjadi lebih terang dan hangat. Juga membenahi beberapa tempat yang temboknya rontok dan mengecatnya. Menanam sejumlah tanaman hias di halaman dan memasang beberapa hiasan dinding di kamarmu. Aku berharap suasana kemuraman di seluruh rumahmu berganti menjadi kenyamanan dan rasa tentram.
Kembali aku berusaha selalu di sampingmu. Berdendang, bercanda, mendongeng, dan kulihat kau kembali bersemangat. Lalu mulutmu mau membuka lagi dan suap demi suap makanan dan minuman masuk dan membuat tubuhmu tak terlalu pucat lagi. Melihat kursi kusam itu aku segera membelikanmu kursi roda.
Setiap sore aku menjengukmu. Bersama ibumu memindahkan dudukmu di kursi roda. Setelah bertahun-tahun akhirnya kau bisa keluar rumah. Awalnya kau nampak takut dengan udara luar yang lebih kering dan kencang, juga sinar matahari yang menggigit. Tapi lama-kelamaan kau lebih berani dan kita bisa berjalan-jalan lebih jauh.
Biasanya wajahmu nampak menegang ketika merasa takut, dan genggamanmu lebih erat pada lengan kursi. Akupun segera berhenti untuk duduk sejajar denganmu dan memberikan rasa tentram melalui sentuhan tanganku di lenganmu. Membiarkanmu sejenak mengatasi rasa cemas.
Lalu ketika ada sepasang kupu-kupu yang berkitaran diantara bunga-bunga, matamu mengerjap dan menyorot kuat. Aku mendorong kursimu agar mendekat, sayang kupu-kupu itu keburu terbang. Aku gembira melihat matamu lebih hidup dan tak sayu lagi.
Hingga perjalanan kita makin jauh sampai menyusuri jalur lambat tepi trotoar. Menikmati teduhnya pohon-pohon rindang dan lalu-lalang kendaraan. Sampai kuingin kita berhenti di sini, berhadapan dengan gedung tua yang menjulang itu, menunggu datangnya kelam dan ribuan kelelawar berbondong-bondong keluar.
Saat saat aku merasa bahagia karena membawamu. Menikmati udara sore yang mulai dingin, dengan matahari yang bulat merah sebesar tampah, dan mendung tipis bergelayutan. Kelam mulai turun. Oh! akhirnya muncul ribuan kelelawar keluar dari jendela gedung. Kau nampak terkejut lalu matamu bersinar demikian kuat, urat-urat pipi dan wajahmu lebih kencang, matamu seperti takjub, lalu kau tersenyum!
Aku sangat bahagia. Inilah peristiwa yang kutunggu-tunggu, melihatmu tersenyum! Senyum yang membuatmu makin jelita.
Seumurku baru sekali ini aku merasakan kebahagiaan yang begitu mengguncang. Aair mataku menetes, dadaku membumbung melihatmu tersenyum untuk kedua kali. Lebih lebar! Menampakkan gigi-gigimu bagian depan. Kelelawar-kelelawar itu terus dan terus saja berbondong-bondong keluar dan terbang menjaring udara. Sayapnya kembang-kempis memompa udara menyeberang angkasa.
Kelelawar-kelelawar terus berbondong-bondong dan langit makin kelam.
Gelap menerjang dan kita terpaksa kembali, pulang dengan hati bahagia.
***
Kau terlihat lebih segar dan mulutmu membuka lebih lebar.
"Ia lebih suka 'nak suapi..!" kata ibu, "mulutnya lebih lebar daripada aku yang menyuapi," tambahnya.
Dan setiap sore aku yang menyuapimu lalu mengajakmu berjalan-jalan. Menatap taman dengan bunga-bunga dan kadang-kadang kupu-kupu atau kecapung, menyusuri jalur lambat, serta menanti tergelincirnya matahari lalu rombongan kelelawar yang keluar memenuhi angkasa. Nampak senyummu makin lebar. Gigi-gigimu makin banyak terlihat.
Hari demi hari. Segarnya udara sore, matahari merah yang ranum, kupu-kupu, kecapung, roda-roda kendaraan, deru gas dan bel kencang, dan terutama rombongan kelelawar mengangkasa membuat hatimu makin terbuka.
Senyummu bertambah lebar, makanmu bertambah lahap, dan matamu lebih hidup. Tak lagi lama menerawang.
Hatiku sangat bahagia.
Sayang cutiku habis. Aku hendak kuliah tapi terkurung rasa khawatir yang amat kuat. Aku cemas dan takut.
"Tidak apa-apa 'nak, kuliah adalah tugas utamamu," kata-kata ibumu menguatkan hatiku.
Namun dadaku sesak setiap mengingat akan meninggalkanmu dalam kondisi yang mulai membaik. Hatiku gamang. Apalagi ketika kemarin sore aku mengantarmu jalan-jalan, walau selintas matamu mulai berani menatapku. Mata serupa telaga.
Aku nekat untuk kembali kuliah; pilihan yang akhirnya aku sesali seumur hidup. Aku terpukul.
Apakah kau tak mengerti bahwa aku hanya meninggalkanmu sebentar untuk kemudian kembali lagi…
Aku segera tapi terlambat. Kau terbaring demikian lemah, dengan mata tertutup, dan mulut pucat mengatup beku. Dadaku sesak… Terdengar suara keras menderak.
"Bangsat! Ini pasti ulahnya."
Aku terkejut. Itu suara bapakmu yang baru pertama kali kudengar. Kebekuannya ambrol melihatmu senestapa ini.
Mengenangmu, jiwaku meraung penuh rasa sesal. Aku lemah dan letih. Tubuhku melayang seperti kapas yang dikibas udara. Dunia gelap. Aku terjatuh entah di mana. Semua gulita dan kelam. Muram, sunyi. Hatiku menggigil, aku sangat sepi.
Air mataku kerontang. Gelap dan hampa. *** Solo, Juli 2007, Han Gagas
Semburat matahari hanya tipis menerobos lebatnya daun mangga sehingga tak cukup membuat rumahmu meninggalkan kemuramannya. Cat tembok di sana-sini sudah mengelupas. Rumah kuno yang tinggi ini terlalu kusam dibanding dengan rumah-rumah sepanjang jalan besar. Padahal posisi rumahmu sangat strategis, berada di tengah kota, di depan sekolah swasta terkenal, dan di depannya ada jalan besar dua arah tempat berseliweran kendaraan.
Halamanmu tanah yang berdebu, dan luas tanpa ada tanaman apapun –kecuali Pohon Mangga besar yang menjulang menembus kabel-kabel listrik. Beranda sudah rusak di sana-sini dengan adonan semen dan pasir yang rontok. Pernah aku numpang di kamar mandi belakang dan sepanjang yang kulihat adalah tembok yang kerontang dan rapuh. Bilangan kayunya sudah mulai gapuk. Nampaknya rumah ini perlu segera direhab. Sedang ruang depan amat kering nyaris tanpa hiasan dinding dan ornamen lain. Melompong putih. Tanpa plafon, genting-genting tampak kusam.
Aku langsung diseret oleh perasaan suka sekaligus simpati saat pertama memandangmu. Kau membisu, entah sejak kapan. Sesaat memandang wajahmu dengan sorot mata sembilu itu aku langsung jatuh hati. Niatku mengunjungi temanku yang juga kakakmu, kini berubah menjadi hasrat untuk menemanimu.
Dan selalu kulihat kau duduk di kursi itu. Memandang keluar jendela. Diam. Tanpa gerakan sekecil apapun, kecuali kelopak matamu yang mengatup pelan lalu membuka lagi. Aku sebenarnya ingin sekali berbincang denganmu tapi sikap bekumu yang seperti telah bertahun-tahun itu menjadi daya tolak yang menjengkangku. Aku dengan perasaan malu-malu dan dengan cara halus menanyakan perihalmu pada kakakmu.
"Adikmu sakit?" aku berkata seolah melepaskan beban yang amat berat.
"Iya." jawab kakakmu dengan wajah laksana tertusuk ribuan jarum yang membuatku merasa bersalah.
"Maaf…" kataku pelan.
"Tak apa, sudah lama. Diam tak mau bicara…" Temanku seperti dilemparkan ke masa lalu yang sedih dan gelap. Suasana menjadi beku dan tak mengenakkan.
***
Kembali aku berkunjung karena wajahmu yang selalu terbayang dan posisi dudukmu yang berjibaku dengan kursi kusam membuatku jatuh hati.
Kakakmu menemui dengan sikapnya yang renyai. Setelah berbasa-basi, aku bertanya.
"Adikmu sakit apa?" Sudah begitu lama pertanyaan itu mengeram di dada. Sejak kali pertama melihatmu, namun aku tak sampai hati mengucapkannya dan kini setelah melalui pertimbangan yang amat lama, pertanyaan itu berhasil aku ucapkan, walau batinku tetap gamang.
"Entahlah…" jawab temanku dengan lenguhan napas yang berat dan panjang. "Sudah diobati ke mana-mana. Ke paranormal juga," tambah temanku seolah dengan mendengar penjelasannya itu aku merasa lebih baik.
Lalu aku mulai rajin mengunjungi temanku untuk mencuri pandang padamu.
Hingga aku harus pergi jauh ke luar propinsi untuk kuliah di Jogja. Tak ada yang bisa aku lakukan, selain s menyuratimu. Menciptakan kata-kata ajaib yang kuharap bisa meringankan hatimu.
Aku tak tahu sudah berapa kali menyuratimu –tentu lewat tujuh kali. Mengutip karya Khalil Gibran, syair Iwan Fals, atau puisi Rendra. Kadang di suratku aku mendongeng tentang berbagai cerita rakyat atau menjiplak sebagian tulisan di buku-buku dongeng luar negeri. Kuharap dengan itu bisa membuat hatimu riang dan tersenyum.
Lalu suatu saat aku bisa pulang dengan hasrat menengokmu.
Masih dengan rumah kuno dengan tembok tinggi dan besar yang kusam. Halaman tanah yang luas dan kering berdebu. Tak ada tanaman apapun kecuali pohon mangga yang terlalu besar itu.
Bibir yang masih mengatup dan beku. Kulitmu yang putih susu memucat dan leher menguning menyangga kepalamu yang diam. Matamu bulat dengan pandangan menerawang, alis tebal yang berjajar erat. Secara keseluruhan kau makin pucat walau tetap memesona.
Hingga aku mendapat cerita yang menguak perihalmu. Bermula dari rebutan lahan warisan --tanah memang seperti pusaka dan tanda harkat kepemilikan. Kakekmu bersilang sengketa dengan saudara tiri dan pertikaian tak hanya fisik tapi juga dunia gaib. Tiba-tiba saudara tiri itu mati mengenaskan, dan kabar menyebar: kakekmu berhasil mengguna-guna dan tebusannya adalah salah seorang keturunannya bakal sakit pikiran. Begitulah cerita itu.
Kau yang sama sekali tak bersalah menerima akibat senestapa ini. Cerita yang makin mengukuhkan perasaanku padamu.
Selalu aku membayangkan membelikanmu kursi roda untuk mengganti kursi kusam yang selalu menemanimu. Lalu mengajakmu berjalan-jalan menghirup udara luar yang segar. Merasakan kulit kita dibakar matahari, menuju taman di sekolah depan, mencoba menangkap kupu-kupu atau kecapung, dan melihat angkasa dengan layang-layang, burung-burung, dan mega-mega.
Aku yakin kau tak tahu jika matahari mulai tenggelam, di gedung pojok perempatan sana melalui jendela akan keluar berbondong-bondong ribuan kelelawar terbang mengoyak langit yang temaram. Aku yakin pula jika melihat kelelawar-kelelawar itu kau akan takjub dan kuharap hatimu menjadi terbuka.
Aku amat senang jika melihatmu tersenyum.
***
Aku berusaha terus merobohkan rasa malu terhadap kakakmu dan keluargamu agar selalu bisa disampingmu. Bapakmu serupa makhluk sunyi yang dingin dan beku. Untung pribadi hangat yang menjadi seperti teman buatku. Ia paling pertama tahu soal hasratku yang selalu berbinar menatapmu. Kukira ia tahu perasaanku. Dan alangkah mengertinya dia yang segera mengajakku terlibat untuk dekat denganmu.
Menatap parasmu yang jelita, jantungku berdegup lebih keras. Kau teramat cantik dalam 'kediaman' seperti ini.
Aku selalu merindukan matamu agar lebih sering berkedip. Aku takut dengan terlalu lama menerawang bisa membuat matamu jadi sakit. Aku akan bersorak gembira jika kau mau tersenyum; itulah kebahagiaan terbesarku.
Sayang waktuku dibatasi jadwal kuliah. Aku harus kembali dan mengambil cuti agar bisa lebih lama membersamaimu. Lalu aku kembali ke Jogja untuk mengurusnya. Ketika pulang aku melihatmu begitu lemahnya.
Bersama kakakmu aku segera menebas beberapa dahan mangga agar matahari lebih leluasa menyinari kamarmu. Sinarnya akan membuat rumahmu menjadi lebih terang dan hangat. Juga membenahi beberapa tempat yang temboknya rontok dan mengecatnya. Menanam sejumlah tanaman hias di halaman dan memasang beberapa hiasan dinding di kamarmu. Aku berharap suasana kemuraman di seluruh rumahmu berganti menjadi kenyamanan dan rasa tentram.
Kembali aku berusaha selalu di sampingmu. Berdendang, bercanda, mendongeng, dan kulihat kau kembali bersemangat. Lalu mulutmu mau membuka lagi dan suap demi suap makanan dan minuman masuk dan membuat tubuhmu tak terlalu pucat lagi. Melihat kursi kusam itu aku segera membelikanmu kursi roda.
Setiap sore aku menjengukmu. Bersama ibumu memindahkan dudukmu di kursi roda. Setelah bertahun-tahun akhirnya kau bisa keluar rumah. Awalnya kau nampak takut dengan udara luar yang lebih kering dan kencang, juga sinar matahari yang menggigit. Tapi lama-kelamaan kau lebih berani dan kita bisa berjalan-jalan lebih jauh.
Biasanya wajahmu nampak menegang ketika merasa takut, dan genggamanmu lebih erat pada lengan kursi. Akupun segera berhenti untuk duduk sejajar denganmu dan memberikan rasa tentram melalui sentuhan tanganku di lenganmu. Membiarkanmu sejenak mengatasi rasa cemas.
Lalu ketika ada sepasang kupu-kupu yang berkitaran diantara bunga-bunga, matamu mengerjap dan menyorot kuat. Aku mendorong kursimu agar mendekat, sayang kupu-kupu itu keburu terbang. Aku gembira melihat matamu lebih hidup dan tak sayu lagi.
Hingga perjalanan kita makin jauh sampai menyusuri jalur lambat tepi trotoar. Menikmati teduhnya pohon-pohon rindang dan lalu-lalang kendaraan. Sampai kuingin kita berhenti di sini, berhadapan dengan gedung tua yang menjulang itu, menunggu datangnya kelam dan ribuan kelelawar berbondong-bondong keluar.
Saat saat aku merasa bahagia karena membawamu. Menikmati udara sore yang mulai dingin, dengan matahari yang bulat merah sebesar tampah, dan mendung tipis bergelayutan. Kelam mulai turun. Oh! akhirnya muncul ribuan kelelawar keluar dari jendela gedung. Kau nampak terkejut lalu matamu bersinar demikian kuat, urat-urat pipi dan wajahmu lebih kencang, matamu seperti takjub, lalu kau tersenyum!
Aku sangat bahagia. Inilah peristiwa yang kutunggu-tunggu, melihatmu tersenyum! Senyum yang membuatmu makin jelita.
Seumurku baru sekali ini aku merasakan kebahagiaan yang begitu mengguncang. Aair mataku menetes, dadaku membumbung melihatmu tersenyum untuk kedua kali. Lebih lebar! Menampakkan gigi-gigimu bagian depan. Kelelawar-kelelawar itu terus dan terus saja berbondong-bondong keluar dan terbang menjaring udara. Sayapnya kembang-kempis memompa udara menyeberang angkasa.
Kelelawar-kelelawar terus berbondong-bondong dan langit makin kelam.
Gelap menerjang dan kita terpaksa kembali, pulang dengan hati bahagia.
***
Kau terlihat lebih segar dan mulutmu membuka lebih lebar.
"Ia lebih suka 'nak suapi..!" kata ibu, "mulutnya lebih lebar daripada aku yang menyuapi," tambahnya.
Dan setiap sore aku yang menyuapimu lalu mengajakmu berjalan-jalan. Menatap taman dengan bunga-bunga dan kadang-kadang kupu-kupu atau kecapung, menyusuri jalur lambat, serta menanti tergelincirnya matahari lalu rombongan kelelawar yang keluar memenuhi angkasa. Nampak senyummu makin lebar. Gigi-gigimu makin banyak terlihat.
Hari demi hari. Segarnya udara sore, matahari merah yang ranum, kupu-kupu, kecapung, roda-roda kendaraan, deru gas dan bel kencang, dan terutama rombongan kelelawar mengangkasa membuat hatimu makin terbuka.
Senyummu bertambah lebar, makanmu bertambah lahap, dan matamu lebih hidup. Tak lagi lama menerawang.
Hatiku sangat bahagia.
Sayang cutiku habis. Aku hendak kuliah tapi terkurung rasa khawatir yang amat kuat. Aku cemas dan takut.
"Tidak apa-apa 'nak, kuliah adalah tugas utamamu," kata-kata ibumu menguatkan hatiku.
Namun dadaku sesak setiap mengingat akan meninggalkanmu dalam kondisi yang mulai membaik. Hatiku gamang. Apalagi ketika kemarin sore aku mengantarmu jalan-jalan, walau selintas matamu mulai berani menatapku. Mata serupa telaga.
Aku nekat untuk kembali kuliah; pilihan yang akhirnya aku sesali seumur hidup. Aku terpukul.
Apakah kau tak mengerti bahwa aku hanya meninggalkanmu sebentar untuk kemudian kembali lagi…
Aku segera tapi terlambat. Kau terbaring demikian lemah, dengan mata tertutup, dan mulut pucat mengatup beku. Dadaku sesak… Terdengar suara keras menderak.
"Bangsat! Ini pasti ulahnya."
Aku terkejut. Itu suara bapakmu yang baru pertama kali kudengar. Kebekuannya ambrol melihatmu senestapa ini.
Mengenangmu, jiwaku meraung penuh rasa sesal. Aku lemah dan letih. Tubuhku melayang seperti kapas yang dikibas udara. Dunia gelap. Aku terjatuh entah di mana. Semua gulita dan kelam. Muram, sunyi. Hatiku menggigil, aku sangat sepi.
Air mataku kerontang. Gelap dan hampa. *** Solo, Juli 2007, Han Gagas
Langganan:
Postingan (Atom)