Sabtu, 26 November 2011

Aku hanya ingin bersama kekasihku

Gelap. keremangan yang berselimut di dalam matanya seolah hendak menyadari sesuatu. Fara membuka matanya dan menemukan ia sudah ada di dalam kamarnya. Ia bersikeras untuk percaya, bahwa lima belas menit yang lalu ia sangat yakin bahwa ia masih berada di pinggir pantai Kuta bersama Abram. lima belas menit yang lalu ia masih bermain layangan bersama lelaki itu.
"Sumpah demi Tuhan" katanya pada diri sendiri. "bagaimana mungkin aku bisa ada disini?"
ia melihat bufet disamping tempat tidurnya, ada sepotong roti gandum dan segelas susu yang sudah tak lagi hangat. kedua tangannya memegangi perutnya yang tepat sekali sedang kelaparan, lalu iapun meneguk susu itu sampai hampir setengah, merebut roti itu dan memakannya dengan sangat lahap. "Alhamdulilah..." ucapnya dalam hati. kini ia tak lagi kelaparan dan dengan tenaga yang sudah kembali pulih, Fara melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Di ruang tamu yang jaraknya beberapa meter dari kamarnya, ibunya sedang sibuk melayani dua orang tamu yang rasanya tak asing lagi di ingatannya. kedua gadis tersebut memakai almamater kampus. Duduk sopan sambil bercerita dengan pembahasan serius.
"Sungguh, kami sangat ingin membantu Fara, bu." Ujar Sisil mengatakan. Ibu Fara langsung menunduk seperti orang pasrah. "semua pasti akan kembali seperti dulu."
"Bagaimana caranya,nak? ibu sendiri benar-benar sudah tidak tahu cara apa yang harus dilakukan untuk membuat Fara menerima semua ini."
Lalu Jihan ikut menanggapi, "kita semua hampir tidak percaya ini semua terjadi. Peristiwa itu ternyata juga memberikan efek yang sangat ironis."
Dibalik kejauhan sana, Fara mendengar suara isakan tangis ibunya seperti tak berarti apa-apa. Ia lebih memilih untuk pergi keluar dari rumah dan mencari suatu ketenangan serta kepuasan batin.

Abram sudah berjanji padanya untuk menemuinya ditaman, dimana dianataranya ada sebuah kolam ikan indah dengan suara gmercika air pancur yang semuanya dapat menginspirasi pikirannya. Meng-antisipasi kerinduannya pada kekasih yang sangat dicintai, Fara hanya ingin bertemu dengan Abram. agar ia bisa bercerita bersama, tertawa bersama dan merasakan kehadiran cinta yang sangat mendalam antara kedua jiwa yang serasa lazim.
Fara menjatuhkan diri, duduk dipinggir kolam yang warnanya tak lagi sebening sebelumnya. Ia harus mengambil kesempatan ini, dipandanginya sekeliling taman, tak ada orang lain yang berada disitu kecuali ia dan lelaki itu. Abram, yang dengan tampannya berjalan kearahnya. Farapun tersenyum, melihat penampilan Abram kali ini yang begitu menawan dan tentunya dengan aroma tubuh Abram yang tak terlupakan. Dan lelaki itupun duduk disebelahnya, dengan senyum sambutan yang menghibur hati.
"Aku senang kamu sudah ada disini," Sapa Abram pada Fara.
"Maafin aku soal kejadian tadi, aku gak bermaksud meninggalkan kamu di pantai." Sambil merapikan rambut Fara yang berantakan, Abram lagi-lagi tersenyum.
"Tidak apa-apa, aku cuma kasihan sama kamu."
"Kenapa?"tanya Fara sedikit tak suka. Apa yang harus dikasihani? katanya dlm hati.
"Sayang, kamu itu sangat cantik, dan kamu punya masa depan yang sangat cerah tapi kenapa kamu tidak mau menuruti kata-kata ibumu?"
Fara langsung memasang muka masam, nafasnya meng-endus kuat sebagai ungkapan kekesalan."Mama tidak tahu apa-apa, dia tidak tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. aku hanya ingin bersama kamu, tapi kenapa ia melarangku."
"Aku tahu kamu sangat mencintaiku, Fara. Tapi kamu harus bisa terima bahwa ini semua tidak seperti yang kamu inginkan."
"Abram!" Fara melihat kedua mata Abram sedikit samar, namun tatapannya sanggup mengunci ketekunan yang telah terkunci di dalam hatinya selama ini. "jangan dengarkan kata orang, mereka hanya ingin memisahkan kita. Kita sudah bersumpah kan? bahwa kita tidak akan pernah berpisah walau apapun yang terjadi. bahkan maut sekalipun!!"
Abram sedikit terkejut mendengar pernytaan Fara barusan, ia tak punya cara apa-apa lagi untuk bisa meyakinkan kekasih yang dalam kenyataan pernah ia cintai, bahkan mungkin hingga saat ini.
"Aku mengerti." direngkuhnya Fara kedalam pelukannya, memberikan kedamaian agar gadis itu tidak lagi bersedih. "kamu ingin aku terus ada bersamamu?"
"Sangat! aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi sayang."
kemudian Abram melepas pelukannya, menatap wajah Fara yang terlihat sedikit pucat dan berantakan. "baiklah," katanya."sekarang... apa kamu mau menemaniku bermain layang-layang lagi?"
"Tentu!!" Fara mengangguk kuat tanda setuju. Ia melihat Abram telah menyediakan sebuah layangan bercorak warna-warni di tangannya, dengan seuntas benang yang panjang dan kuat Fara dan Abram berhasil menerbangkan layangan itu dengan sangat tinggi. tak ada pepohonan yang menghalangi layangan itu untuk terbang bebas. merekapun tertawa, berlarian dan saling memanjakan diri dengan kebahagiaan yang diarasakan sangat nyata. Fara senang setiap kali Abram menggenggam jemarinya dan membawanya berlari berasam dengan angin. Bersama daun berguguran yang terhembus angin, burung-burung merpati yang seolah berkicau merdu melihat kebahagiaan yang ia rasakan.
Fara tak ingin genggaman itu terlepas, tapi entah kenapa tangan itu berubah menjadi lebih hangat. tak sedingin dan selembut sebelumnya. Disitu, dihadapannya tiba-tiba saja ibunya berdiri dengan air mata. Memegangi bahunya dengan sangat kuat dengan bantuan kedua temannya yang masih mengenakan almamater, mereka yang seharusnya masih duduk di ruang tamu rumah. Bagaimana mereka bisa menemukanya di tempat ini? katanya dalam hati. Kenapa tiba-tiba ada banyak sekali orang disekitarku, dan kenapa mereka menatapku seolah ingin menerkamku, aku ini salah apa?
"Aku sedang bersama Abram dan bermain layang-layang, kenapa kalian datang dan mengganggu kebahagiaanku?" pintanya pada orang-orang itu.
ia ingin memberontak, lari ke pelukan Abram dan pergi dari mereka. Namun, kekuatan orang-orang itu membuatnya tak sanggup berbuat apa-apa selain berteriak sekuat tenaga agar mereka pergi. berteriak sekuat tenaga agar mereka tahu betapa menyedihkannya ia saat air mata mengucur deras, berteriak sekuat tenaga agar ibunya rela melepaskan tangannya yang lemah. tapi kekuatan mereka semakin dan semakin kuat menahannya.
"Maafin mama, Fara. Mama terpaksa melakukan hal seperti ini." ibunyapun menangis.
"Fara cuma mau Abram, ma... kumohon jangan memisahkan kami. Fara mohonnn..."
"Ini yang terbaik buat kamu nak." Fara tak menahu, ada benda tajam yang menusuk lengannya dan seketika semuanya menjadi gelap, "mama sangat menyayangimu, Fara."


"Dimana Abram?! mana layangan cantik itu seharusnya aku ada ditaman, bukan di kamar bau seperti ini!" Begitu ia terbangun, Fara mendapati dirinya berada di tempat asing. tempat tidur ber-sprei putih, kamar yang tak ber-lemari dan tak berjendela. di balik dinding kamar rumah sakit jiwa, ibunya menangis tak rela. Ia tak ingin meninggalkan Fara dalam keadaan seperti itu, namun ini adalah keputusan terberat yang pernah dibuatnya. sejak kecelakaan yang merenggut nyawa Abram dua bulan yang lalu, Fara menjadi sangat depresi hingga menyebabkan gangguan jiwa. Ibunya sadar jika ia sangatlah kejam, bagaimana anak yang sangat disayanginya harus berada di tempat menyedihkan seperti ini, berperilaku dengan tingkah yang berhalusinasi tinggi, merasa yakin bahwa Abram kekasihnya selalu ada didekatnya.
"sampai kapan kamu seperti ini, nak. cepatlah sembuh agar mama bisa melihatmu ceria kembali."

Jumat, 25 November 2011

Kumpulan Cerpen Sedih dan Menarik

Hai Waferbook readers, suka baca cerpen gak? mau cerpen apa aja,,,, disin aku bakal tulis lus sediain beberapa cerpen sedih dan menarik yang layak utk kamu baca. Kalau kamu mau nyumbang tulisan, kamu kirim aja file attachmen kamu ke email aku di
wafertea@gmail.com
aku bakal postingin tulisan kamu dan pastinya nama kamu bakal aku lampirin. :) :) :)
menulis itu asyik, menulis adalah karya dan menulis itu merupakan imajinasi.

Kamis, 24 November 2011

Fatamorgana dibalik Tembok

“Oke! Sampai disini mata kuliah Metopel kita. Jangan lupa tugasnya dikumpul minggu depan. Selamat siang semuanya!”
“Siang, Pak!!!”
Pak Hendry menutup kelas. Seisi kelas mengundurkan diri berebut untuk keluar dari ruangan. Suaranya gaduh. Berisik. Aku mengambil sela paling lebar hingga berhasil keluar dari desakkan mahasiswa- mahasiswa tak sabaran seperti mereka. Ku gendong tas eiger dipunggungku. Mengambil langkah cepat sedikit berlari.
“Gery!!” Seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku menghentikan langkah, kemudian menoleh. Roy berlari kearahku hampir menabrak. Nafasnya terengah- engah setelah selesai berjuang mengejarku.
“Ada apa?” Tanyaku ingin tahu. Kullihat Roy butuh oksigen, sedangkan aku tidak bisa menunggu terlalu lama untuknya. “Buruan! Nih orang malah ngos- ngosan melulu? Gue mau cepat nyampe rumah, nih!” Desakku.
Roy mengambil nafas. Mengisi ruang pada paru- parunya. “Lo mau kemana sih? Buru- buru amat! Gue mau ikut kerumah lo.” Sudah ku tebak dia akan meminta hal itu.
“Eitss! Kali ini gak bisa. Gue lagi gak pengen bawa siapa- siapa kerumah.”
“Napa, sih? Biasanya elo yang ngajak gue kerumah lo.”
“Kali ini kagak! Gue ada urusan.” Aku menekankan.
“Tugas kelompok kita, Ger… mesti dikumpul minggu depan. Bab satu aja belum ada. Kalo gak dikerjai kapan kelarnya?”
Alasan! Pikirku.
“Yang ini lebih penting daripada tugas metopel.” Sekali lagi aku menekankan. Mencondongkan wajahku. Muka berminyak Roy semakin terlihat menjijikkan. “Besok- besok aja kita kerjain. Okey?!” Aku memutar badan. “Gue duluan, ya?” Ku lambaikan tangan kananku kebelakang. Roy berdiri kaku tanpa mengejar.
“Gery! Gimana sih nih anak! Gue ikutan ngebeng donk sampai rumah Widya.”
“Gak bisa! Gue buru- buru.” Aku berlari menuruni anak tangga licin dengan penuh hati- hati. Berusaha agar Roy tigak bisa mengejarku sampai parkiran. Hingga akhirnya aku berhasil sampai kedalam mobil tanpa ada gangguan dari siapapun.
  
Lagi- lagi aku penasaran dibuatnya. Ku ambil kursi bamboo anyaman dari beranda samping rumahku. Memepetkannya ke tembok pembatas antara rumahku dengan rumah tetangga. Aku butuh kursi ini sebagai media pemanjat. Agar aku bisa melihat sisi lain di balik tembok berlumut ini. Ada sesuatu yang istimewa dibalik sana. Sesuatu yang seminggu terakhir ini selalu membuatku penasaran dan menunggu.
Kupanjat kursi bambu yang hampir jebol ini. Sedikit menjinjitkan kaki dan mendongakkan kepala.
Arkhhh!!! Capek.
Aku turun lagi. Kali ini aku mengambil beberapa batu bata kotor dari tepian kolam ikan mas. Kemudian menyusunnya rapi diatas kursi sampai kira- kira sudah cukup tinggi. Tanpa ragu aku memanjatnya lagi.
Wahhh… kali ini benar- benar pas. Ku dongakkan wajahku ke halaman rumah tetangga. Benda yang pertama kali ku sorot adalah pohon manggis. Di tempat itulah biasanya aku melihat sesuatu berkilau, cantik tiada tara. Menunggu fatamorgana nan indah muncul kepermukaan. Aku rindu dengan suara indah itu. Aku ingin mendengarnya lagi seperti yang sering ia lantunkan tiap siang.
Jam 12.25.
Lima menit lagi, dia pasti muncul. Aku sudah menerka- nerka. Seperti apa penampilannya hari ini. Aku berharap dia memakai dress warna kuning. Seperti yang ia kenakan tiga hari lalu. Coraknya sangat cocok dengan warna kulit langsatnya. Maka ia kan kelihatan lebih bercahaya. Tapi, itu tak penting buatku. Asalkan dia mau muncul di penglihatanku, aku puas.
Aku terlalu setia menunggu. Berkali- kali kakiku naik turun kursi untuk meregangkan otot. Sudah hampir setengah jam aku berdiri di atas kursi. Tapi sosok itu tidak juga menampakkan diri. Aku hampir menyerah.
Namun tiba- tiba aku mendengar sebuah suara. Suara yang amat ku kenal mencolek telingaku. Seperti seekor kucing tatkala mendengar suara piring tuannya sedang makan. Aku langsung terperanjat. Ku naikkan lagi kakiku keatas kursi. Ku intipkan kepalaku pada pembatas dinding. Sedikit berhati- hati agar wajah tampanku tidak tergores sudut kasar tembok.
Kali ini ia mengenakan baju warna hijau muda. Rambut ikalnya di kuncir kebelakang. Duduk manis di bawah pohon manggis sambil menempelkan ponselnya ketelinga kiri. Berbicara sambil tertawa kecil. Aku suka cara dia berbicara. Dan aku sangat senang mendengarnya tertawa renyah seperti itu. Aku memang tidak tau dia mengobrol dengan siapa dibalik ponsel itu. Barangkali temannya. Karena menurutku dia bercerita seadanya. Hati kecilku sedikit berharap, mudah- mudahan itu bukan pacar atau gebetannya. Jangan sampai itu terjadi, dan aku tak akan membiarkan itu terjadi.
Aku terlalu terpesona oleh gadis itu. Setiap hari aku tak pernah lelah memandanginya seperti ini. meskipun tak pernah kulihat wajahnya, karena ia tak pernah menyempatkan diri menunjukkan wajahnya walaupun sesaat. Dan meskipun aku tak tahu namanya. Juga tidak tahu siapa sebenarnya dia dirumah itu. Yang penting aku tidak pernah keberatan jika harus punya tetangga secantik dia.
  
Teriknya hampir menembus mata. Sesungguhnya aku tak tahan harus di setrap di bawah terik matahari seperti ini. sinar ultra violetnya bisa saja menyumbangkan racun untuk kulitku. Aku tidak akan pernah sudi berdiri seperti ini kalau bukan karena primadonaku. Aku sengaja meninggalkan forum diskusi bersama kedua temanku lantaran rindu dengannya. Ku biarkan mereka membentuk forum sendiri tanpa kehadiranku. Asalkan bisa sejenak memandanginya seperti ini terus, aku rela meskipun hujan badai atau bahkan gempa tektonik sekalipun. Aku tidak akan pernah mau bergeser dari pertapaanku. Melihatnya mengenakan kaos pink berlengan panjang, membuatku ingin melompat saja dari tembok ini.
Tidak boleh!
Aku harus tetap diam disini. Jangan sampai ia tahu ada cowok pengecut seperti aku yang selama ini beraninya cuma mengintip seperti tikus celurut di balik tembok. Aku bisa malu setengah mati nantinya. Jika harus menjadi penggemar di balik tembokpun aku tak keberatan.
Plakkk!!
Aku mengusap- usap bokongku yang perih lantaran pukulan sadis dari Roy. Ternyata mereka menemukan tempat persembunyianku. Aku menoleh kebelakang sambil meringis kesakitan. Turun dari kursi rotanku yang baik hati. Mereka tertawa. Mengejekku sedemikian rupa.
“Sakit, gilak!” Eluhku masih mengusap- usap bokong.
“Ohh… dicariin dari tadi entah kemana, rupanya ngumpet disini. Ngintip apaan sih?” Roy mengomel.
“Gak ada. Cuma iseng.”
“Hmmm… lu ngintip tetangga lu lagi telanjang ya? atau mau nyolong makanya ngintip- ngintip kayak gitu?” Kali ini Dimas ikut campur.
“Enak aja lu ngomong! Mana mungkin gue ngintip orang telanjang, ah! Ada- ada aja lu.” Aku menghimpun mereka. Tak ada salahnya jika aku menceritakan apa yang ku lihat selama ini. “Gue ngeliat cewek. Cuakep!” Kataku sedikit berdusta. Padahal rupanya saja aku tidak pernah tahu.
“Cewek? Perawan maksud lu?” Aku bisa melihat mereka mulai tertarik dengan sekilas infoku.
“Ya iyalah. Masa gue ngintipin nek Damrih!”
Roy menepuk pundakku kemudian merangkulnya. “Maksud gue, lu kan pernah cerita kalau yang tinggal dirumah itu cuma nek Damrih, anak perempuannya yang janda sama cucunya. Siapa tuh? Si Sanusi. Iya bocah tengil itu.”
“Itu dia, Roy! Gue juga baru ngeliat tuh cewek seminggu yang lalu.”
“Suss…!!!” Secara tak sengaja kami mendengar seseorang berteriak dari rumah sebelah.
“Sus???” Kami saling berpandangan penuh tanya. Rasa penasaran kamipun timbul. Kemudian Roy dengan cepat memanjat kursi rotan itu. Mengikuti caraku mengintip.
“Gak ada siapa- siapa disitu, Ger.” Roy memastikan sekali lagi. Matanya setajam teropong. Namun tetap saja tak menemukan sosok yang sedari tadi kumaksud. Akhirnya diapun menyerah lalu turun.
“Mana? Gak ada siapa- siapa kok.”
“Masa sih? Aku sering lihat dia dibawah pohon manggis.” Barangkali tuh cewek udah masuk kedalam rumah, pikirku. “Sebentar!” Ada ilham seolah mengarah padaku. “Tadi kita denger ada yang teriak Suss! Apa jangan- jangan itu namanya?”
“Aku tahu!!” Roy menepuk tangan memekik. “Pasti namanya Susi!”
“Hiyy… masa namanya ndeso!” ujarku memasang wajah najis.
Dimas mengerutkan keningnya. Dia pasti sedang berpikir sama seperti aku. Menebak siapa kira- kira inisial sebutan itu. Beberapa detik kemudian, wajahnya cemerlang.
“Susan!! Pasti Susan.”
“Kalau yang ini aku setuju!” Kataku sumringah. Aku suka nama itu.
Tapi Roy punya pendapat lain. “Aku rasa namanya Susu! Hahahaha…!!!!” Kemudian Roy tertawa sampai hampir nangis. Dimaspun ikut- ikutan ngekeh. Padahal menurutku pendapat Roy itu malah bikin aku sakit hati.
Kok Susu sih?
Kubiarkan mereka puas tertawa kalau perlu sampai hampir mati. Setelah kelelahan merekapun berhenti sendiri. Dimas memegangi perutnya lantaran sesak, mengatur nafasnya setelah mengeluarkan energi penuh untuk ketawa. Kemudian memukul pundakku gregetan.
“Jadi lu belum tahu tuh cewek siapa?” Aku menggelengkan kepala atas pertanyaan Dimas. “Kenapa gak cari tahu?”
Aku menghela nafas seraya menundukkan kepala. “Lu kan udah pada tau kalo’ gue nih orangnya pemalu.”
“Ckckckc…” Dimas berdecak sekaligus menggelengkan kepala. “Gak bisa gitu donk, Ger. Lu harus cari tau siapa tuh cewek.”
“Bener, Ger. Sayang kan kalo dibiarin gitu aja?”
“Kita cari tau sekarang!”
“Hah?” Aku sedikit terkejut dengan saran Dimas. “Maksud lu?”
“Kita datengin rumah tetangga lu ini trus kita tanya. Gampang kan?”
Aku sedikit ragu dalam bayangan maya. Namun aku suka saran temanku yang satu ini. mereka sanggup meyakinkan aku untuk berani. Gery yang pengecut pasti akan tahu siapa primadona itu sebenarnya. Seorang gadis yang selama ini hanya bisa ku pandangi dibalik tembok samping rumah. Tanganku sudah tak sabar ingin menjabatnya kemudian memperkenalkan diri dan berkata, hai? Aku Gery.
  
Ekspedisiku bersama Dimas dan Roy tidak membuahkan hasil sesuai harapan. Kami sudah menanyakan semua hal tentang gadis tersebut, tapi nek Damrih bilang tidak ada gadis yang bernama Susan atau Susi sesuai ciri- ciri yang kusebutkan pernah tinggal atau menginap dirumah itu. Nek Damrih tetap ngotot kalau ia hanya tinggal bertiga dengan anak dan cucunya.
Bagaimana mungkin? Baru beberapa menit yang lalu aku melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri kalau gadis itu duduk di bawah pohon manggis dan mengenakan kaos lengan panjang berwarna pink. Dan bukan cuma sekali, tapi setiap hari aku melihatnya. Itu bukan fatamorgana atau bayangan semu. Tapi itu nyata. Aku tidak mungkin salah melihat.
Berulang kali aku meyakinkan Dimas dan Roy kalau aku sungguh melihatnya. Aku tidak sedang berhalusinasi ataupun sakit jiwa. Tentu aku masih sangat waras. Tapi mereka tetap tidak percaya setelah mendengar keterangan nek Damrih.
“Gue yakin cewek itu bener- bener ada, gue gak bohong.” Aku meneguhkan.
Dimas duduk di lantai beranda samping rumah. Menyelonjorkan kakinya santai. “Tapi lu denger sendirikan nek Damrih bilang apa? Gak pernah ada cewek yang tinggal disitu selain dia dan anak cucunya.”
“Trus yang gue lihat selama ini apa donk?”
Roy mundur satu langkah kebelakang. Ekspresinya tiba- tiba terkejut. “Ger! Jangan- jangan tuh cewek setan? Kuntilanak, suster ngesot atau semacamnya.” Aku dan Dimas memusatkan perhatian padanya. Jidad kami sama- sama berlipat. “Dan lu bilang dia suka nongkrong dibawah pohon manggiskan?” Aku mengangguk.
“Trus apa hbungannya sama pohon manggis?” Tanyaku.
“Pohon manggis… Ger, pohon manggis…” Roy menelan ludah. Jakunnya terlihat jelas naik turun. “Pohon manggiskan sarangnya kuntilanak!”
Astaga?! Bagaimana kalau Roy benar? Bahwa yang selama ini kulihat itu bukan manusia alias siluman. Bukankah aku belum pernah melihat wajahnya sekalipun. Belum pernah membenarkan wujud yang sebenarnya. Tapi kenapa sosok itu terlalu nyata. Suara tawa yang kusukai itu masih jelas terngiang di telingaku. Aku sedikit gamang. Betapapun aku meyakinkan suatu keberadaan, nyatanya tak ada bukti- bukti yang dapat menguatkan dalil. Aku tidak bisa benar- benar paham pada kondisiku sendiri atas apa yang pernah kualami.
Aku seperti berjalan diatas awan. Padahal kakiku tak bisa menapak pada gumpalan awan. Setiap kali aku menyentuhnya, dasar awan itu terlerai. Hingga akhirnya tak tersentuh oleh apapun. Begitupun awalnya aku begitu yakin akan sosok gadis di balik tembok berlumut itu, aku senang setiap kali melihatnya duduk manis di bangku bawah pohon manggis meskipun hanya tampak punggung. Tapi aku merasa seolah ada kedamaian menaungi tubuhku. Menegukkan kesejukan pada hatiku yang kosong. Primadonaku tak lagi pernah menunjukkan sosoknya. Setiap kali aku memanjat tembok yang kudapat hanyalah lelah beserta kekecewaan. Aku memang tidak pernah lagi melihatnya. Seolah- olah terkelabui oleh tabir abstrak. Barangkali aku cukup mafhum bila harus menjadikannya bidadari yang pernah mengusik celah jiwaku. Aku tidak memihak siapapun untuk percaya. Aku tetap yakin bahwa ia pernah nyata di mataku.
Aku turun dari kursi rotan kesayanganku dengan hati penuh kecewa. Primadona pendamai hatiku tak lagi pernah muncul setelah penelusuranku tiga hari lalu. Dia benar- benar hilang. Kalau saja aku tidak mencari tahu tentangnya waktu itu, mungkin barangkali aku masih bisa melihatnya. Tak peduli ia setan, siluman ataupun jin. Aku sudah terlanjur menyimpan hati pada sosok tak jelas itu.
Lantai marmer di ruang tamu memantulkan bayanganku. Suara decitan dari telapak kakiku mengiringi maksudku pada asal suara riuh di depan rumah. Tawa cekikikan mama terdengar nyaring. Aku menghampirinya. Kulihat di halaman depan nek Damrih berjalan selangkah demi selangkah kepayahan. Dia dituntun oleh seorang perempuan.
Perempuan itu? Aku pernah melihat dress kuning yang ia kenakan. Aku kenal dengan rambut lurusnya yang terkucir serta punggung indahnya. Mataku terbelalak tak percaya.
“Itu nek Damrih, Ma?” Tanyaku pada mama yang masih tertawa kecil.
“Iya. Dia baru pulang dari warung, tapi kok pulangnya kesini. Nek Damrih pikir ini rumahnya. Hihiihih… penyakit pikunnya semakin parah.”
“Pikun?” astaga! Aku tahu sekarang. “Trus, cewek itu siapanya, Ma?” Mataku belum lepas dari nek Damrih dan cewek itu. Mereka belum keluar dari pintu gerbang.
“Cewek itu ya susternya. Yang merawat nek Damrih selama ini. Desi bilang dia gak sanggup merawat ibunya sendiri. Jadi harus pake’ suster.”
Pernyataan mama membuatku seperti menemukan ilham yang selama bertahun- tahun bersembunyi. Ini bukan fatamorgana. Inilah yang sesungguhnya. Dia benar- benar ada. Dia nyata. Dan kini aku bisa melihat wajahnya yang sangat cantik. Tersenyum saat menoleh kearahku. Tanpa ragu akupun berlari mengejarnya sebelum dia kembali hilang dari pandangan. Kakiku perih menginjak kerikil. Hampir tak terasa lantaran kebahagiaan.
Aku berhasil menghentikannya. Ku pandangi wajahnya lekat- lekat.
Ia sungguh cantik. Benar- benar cantik. Aku hampir tidak percayadengan apa yang kulihat. Sosok yang kuintip selama ini ternyata lebih cantik dari yang ku bayangkan. Mata coklatnya begitu indah. Aku hampir tak bisa mengedipkan mata walau sekejap. Dia terlalu cantik jika disangka siluman.
“Ada apa?”
Astaga… suaranya… hampir saja jantungku tak berdetak mendengarnya. Begitu lembut, hatiku seketika tenang menerima sinyal dibalik aura indah itu. Aku tak mau menyiakan kesempatan ini. Ku sodorkan tangan kananku.
“Hai? Aku Gery.” Sapaku seraya memasang senyum termanis. Tapi tak semanis senyumnya, tak sebening sorotan matanya.
Ia pun menjabat tanganku seraya tersenyum. “Mariska.”
Mariska. Nama yang sangat indah menurutku.

Selasa, 22 November 2011

Aku tak ingin kau sembunyikan #part 1

Aq ga tau siapa yang jadi ketiga dihubungan kita, yang aq tau kita terlebih dahulu bersama. tp kenapa harus aq yg ngalah harus aq yg mengerti kau memilih aq tapi tetap bersamanya, kau meluangkan banyak waktu buat q tapi enggan melepasnya. Sebenarnya kau anggap aq siapa, kau prioritaskan aq didepan temanMU, kau ajak aq keberbagai acara keluarga mu, kau kenalkan aq pada rekan - rekan mu, tapi masih ada dia yg mengaku pacarMU.



Kau slalu bersama q disaat waktu luangMU, semua orang tau itu. kau slalu memperhatikanq walau kau tak didekatMU, tapi tau kah kau betapa sakitnya aq pada hari itu, hari ulang tahun kekasihMU. kau meminta q memilihkan hadiah yg pantas untuknya, kau meminta q konsep seperti apa yg akan kau siapkan untuk acara ulang tahunNya, ingatkah kau sore itu aq menangis,

rasanya ingin q tinggalkan kau ditempat itu tapi kau menahan q berusaha hapus air mata q karena alasan itu lagi, Apakah gadis biasa seperti q tidak menjamin kebahagiaan mu ? lalu kalau aq tidak bisa membuatmu bahagia kenapa kau mengemis ingin aq tetap didekatmu, Aq tidak ingin siapapun terluka aq juga tak mau jadi pemenang tapi dy tersakiti. Inikah cinta org yang berpolitik ? Tolong jangan meminta q untuk di dekatmu kalau kau masih bersamanya. Ini bukan ego q,q hargai kau yg saat ini tlah membuat q bahagia, tapi q juga tak ingin trus menangis ketika membuka bbm mu ada wanita lain yg menyebutmu sayang, dan disaat kau harus meluangkan waktu u/ bersama nya, walau q tau hanya beberapa jam kau bersamanya dalam 1 bulan. Aq bukan menunutut mu tuk aq miliki seutuhnya tapi aq juga ga mau ada wanita lain yg akan menangis ketika ia tau ada aq disamping mu. Maafkan aq yg tak sanggup menjalani smua ini. Aq berusaha tegar, aq berusaha tidak menangis di depan mu karena aq tak ingin menambah fikiranmu dengan sikapq. Biarlah aq yg pergi dan berlalu, dan aq tak mampu berbicara panjang denganmu tentang smua ini krn aq tak ingin kau menahanq lagi

Cerpen by Dewi Amor

Senin, 21 November 2011

Safira, Kau Tetap Sempurna Bagiku

Setahun yang lalu hingga saat ini, adalah hal yang paling berat dalam hidupku yang pernah aku jalani. Hubungan jarak jauh antara aku dengan Safira terpaksa kujalani. kalau bukan karena tuntutan kerja, dan jika bukan karena bujukan Safira agar aku menerima promosi ini, mungkin aku akan mencari pekerjaan lain diluar sana. asalkan aku tidak berada jauh darinya. sungguh sangat sulit rasanya jauh dari orang yang sangat kita cintai, seberapapun dan sesering apapun kau bicara dengannya lewat telfon. masih banyak perusahaan kontraktor lain di Indonesia yang tak berfikir panjang untuk mempekerjakanku. Tapi kupikir, posisi yang aku dalami sekarang ini pasti bisa melejit lebih cepat dari yang orang bayangkan.

Safira, waktu memang berlalu sangat cepat- bagi mereka yang tak mengidap kerinduan. namun waktu bagiku sangatlah berarti, setiap waktu luangku mana mungkin aku lupa begitu saja padamu. lewat telfon; ku tanya kau sedang apa dan dimana-meskipun menit terkadang tak berpihak padaku lebih lama. lewat pesan; ku kirimkan kau kata-kata manis menjelang malam dan pagimu. syukurlah teknologi skype membantu kita untuk bertatap muka, senang rasanya bisa melihat wajahmu yang semakin cantik, aku semakin rindu setiap kali menatap matamu yang begitu indah, dan suaramu yang sampai detik ini tak pernah terdengar merdu-masih serak basah.

Malam setelah kelelahan ku istirahatkan dengan secangkir coklat hangat, seperti biasa aku duduk di depan laptopku. tentu saja menunggumu online di skype. ada sebuah kejutan yang sudah tak sabar ingin aku kabarkan padanya. dan ketika kudengar nada video call dari skype-ku menjingkrakkanku, aku langsung memasang wajah paling tampan begitu kulihat senyuman indahmu melebar di layar desktop.

"Lulabi...lulabi...honey bunny sweety!!!" itu kalimat pertama yg ku utarakan dengan nada memanja. dan seperti biasa, ia selalu tertawa setiap aku melafalkannya.
"Hei, kamu tahu? hari ini aku belajar memasak spagetti. dan kamu tau hasilnya?" ia menunjukkan jari telunjuknya yang berbalut Hansaplast. "telunjukku koyak, ahahahahah"

"pasti nangis kesakitan?" tanyaku sedikit cemas
"yieee anak kecil kalee kalau begini aja udah nangis." lagi-lagi Safira menunjukan tawanya yang khas, aku suka cara ia menarik nafasnya saat tawanya menggelegak, aku rindu akan itu. tapi sepertinya lelucon kali ini tidak selucu biasanya.
"lalu? ada kabar terbaru apa, pejantanku?"
aku menarik nafasku, setidaknya aku terlalu bahagia dengan kabar ini. "besok sore, aku akan ada di Jakarta.AKU AKAN PULANGGG!!!" aku berteriak girang, sama girangnya dengan reaksi Safira di balik layar itu.
"Seriuss?!"
"iya bener,proyek sudah selesai. dan besok jam 10 pagi pesawatku berangkat dari Bandara Polonia, kemungkinan jam 11.30 sampai Jakarta."
"Oya? alhamdulillah, aku benar-benar senang mendengarnya. dan sepertinyaaa aku harus siapin kejutan buat kamu. kamu suka surprise??"
"yaa, aku cuma ingin kita ketemuan di Cafe tempat biasa kita bertemu. begitu aku sampai jakarta, aku akan langsung kesana. kita makan siang bersama."
"Aku suka itu." ujarnya senang. "sungguh, Van... aku benar-benar kangen sama kamu. dan aku..."
"udah gak sabar pengen lihat aku kan?" kataku memotong kalimatnya. tapi dia malah tertawa
"yaaaa sekaligus udah gak sabar pengen cukurin jenggot rusuh kamu itu, dan rambut kamu yang gondrong persis narapidana." malu bercampur minder, akupun hanya bisa tertawa di depannya. "aku gak mau lihat penampilan kamu yang seperti ini besok. atau aku bakal pura-pura gak kenal sama kamu?"
aku terus bercerita dengan Safira sampai hampir lebih satu jam, bercerita tentang masa depan, tentang masa lalu yang kami lalui dengan cara yang berbeda-beda. namun kau tetap menyimpan rahasiaku, karena aku harus memastikan bahwa besok adalah hari dimana aku akan membuat ia merasa sebagai wanita paling berharga.
aku akan melamarnya.

pukul 8.30 WIB
pagi di lokasi proyek, aku harus berjibaku dengan waktu. bukan untuk mempersiapkan keberangkatanku, tapi menyelesaikan masalah kerusuhan yang terjadi antara masyarakat, kontraktor dan pemilik pabrik kimia yang kami kerjakan. Hingga sampai saat ini masyarakat belum menyetujui pembangunan pabrik tersebut, dan akan terus menimbulkan kerusuhan jika pihak Kontraktor dan pemilik tidak memenuhi keinginan mereka.
aku tak tahu lagi harus bagaimana, baru kali ini dalam sejarah pekerjaanku, aku menghadapi situasi tersulit, kerusuhan dimana-mana, lemparan bertubi-tubi dari masyarakat, dan makian berselimut amarah. mereka begitu kuat jumlahnya, bahkan aparat kepolisianpun hampir tidak sanggup menghentikan kericuhan itu sampai sore hari.
kamipun mengalah, dan mau tidak mau harus membuat pengumuman bahwa dalam waktu 3 kali 24 jam semua tuntutan mereka akan terpenuhi. dan sepertinya aku harus tinggal di tempat ini lebih lama lagi setidaknya empat hari kedepan sampai semua masalah benar-benar beres.

dan Safira, ASTAGA! bagaimana bisa aku melupakannya! seharusnya aku memberi dia kabar atas pembatalan kepulanganku. ya ampun, dia pasti sangat kecewa padaku. aku tidak tahu harus memulai kata dari mana saat aku mulai menekan nomor hendphone-nya di ponselku.
"nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, atau berada di luar jangkauan. silahkan tinggalkan pesan."
"Kenapa enggak aktiffff....sayangggggg" gerutuku cemas.
aku terus mencoba untuk menghubunginya, namun berpuluh-puluh kali usaha yang kulakukan tetap saja tidak menghasilkan jawaban apa-apa. Safira pasti marah, dia pasti sangat kecewa kepadaku. sebesar apapun cintanya kepadaku, sanggupkah bila ia harus sekecewa ini kepadaku? dengan cara apapun aku menghibur diriku dengan pekerjaan aku tetap tidak bisa tenang memikirkan Safira. aku coba menghubungi keluarganya terutama ibu Safira, tapi telfonku tak pernah diangkat. tiga hari berlalu, selama itu aku terus mencoba menghubungi orang-orang terdekatnya, tapi entah kenapa tak satupun dari mereka yang bisa ku hubungi. Astaga!! barangkali aku tak pernah berpikir tentang teman-temannya. yah, selama ini aku terlalu percaya pada Safira dan keluarganya hingga aku tidak butuh contact teman-teman terdekatnya.
ku pastikan pekerjaanku selesai hari ini juga, agar besok aku bisa pergi dari tempat yang memenatkan ini. setiap malam sebelum tidur, aku berdoa agar kecemasanku ini tidak berarti buruk. ku pandangi dengan cara yang hening cincin lamaran yang akan aku sematkan di jari Safira, aku bisa membayangkan ia akan melompat girang dengan caraku memasangkan cincin itu di jarinya. atau mungkin ia akan menangis terharu lantaran bahagia. aku ingin ekspresi itu, ekspresi cinta yang mendalam antara aku dan dia.

27 Novemberr 2011
aku kembali ke Jakarta. meski hingga detik ini aku belum mendapatkan kabar dari Safira, aku yakin kepulanganku hari ini akan membuat dia terkejut. anggap saja ini surprise. begitu sampai rumah, ku sapa ibu dan keluargaku dengan penuh kehangatan. kemudian aku pergi tanpa harus mempersiapkan diri. begitu aku telah tiba di depan rumah gadisku, Astagaaaa bagaimana bisa aku jadi merasa seperti baru mengenal rumah ini. bahkan lebih menegangkan daripada saat aku menembak Safira tiga tahun yang lalu.
ku ungkap segala keberanian mengucakan salam, tak lama dari balik pintu itu kulihat mbak Niar muncul, dengan ekspresi keterkejutan dan penampilan yang sangat berantakan.
"Evan?!" tanyanya terkejut. apa aku seperti hantu? pikirku.
"Aku mau ketemu sama Safira, mbak. apakah dia baik-baik saja? kenapa aku tidak bisa menghubunginya?"
perempuan itu diam. aku tidak tahu apakah itu suatu pilihannya untuk mengacuhkanku? aku ingin ikut diam, tapi yang kudengar malah suara tangisan dari dalam sana. sebuah suara yang terdengar semakin mengisak, sebuah suara yang sangat ku kenal. aku terhenyak, kemudian dengan cepat menerobos mbak Niar dan masuk kedalam kamar Safira. aku takut sesuatu terjadi padanya, jantung ku seolah berdegup cepat. aku hendak membuka pintu kamarnya, namun mbak Niar menarik tanganku dengan sangat kuat. menghalagiku.
"Mau apa kamu?!" tanyanya cetus.
"aku mendengar Safira menangis, aku harus tahu apa yang terjadi padanya."
"Kau harus tahu atau kau harus tak mau tahu?" demi Tuhan tak pernah sekalipun aku mendengar wanita ini membentakku begitu keras. aku sampai hilang kata-kata membisu. lalu samar-samar ku lihat ada air mata mengalir dari sudut matanya. kini aku mendengar dua suara tangisan.
"apa yang terjadi mbak?" aku mulai merasakan sesuatu memang sedang terjadi disini. tapi mbak Niar tak memberi jawaban. Aku bersikeras, dan masuk melalui pintu yang terasa sangat berat.
akupun melihatnya, dan sekujur tubuhku terasa lumpuh, darahku tiba-tiba memacu dengan sangat deras, membisu, dan seketika itu juga menangis dan berlutut di hadapannya yang sedang meringkuk kesedihan.
"ia menunggumu di Cafe itu, hari dimana kamu berjanji untuk pulang." suara mbak Niar terdengar parau, sedangkan aku masih berlutut di hadapan Safira yang meringkuk sambil menangis seolah tak ingin menerima semua ini.
"lalu musibah terjadi, Cafe itu terbakar dan meledak sehingga pecahan kaca mengenai matanya, dan lihatlah kondisinya sekarang" inikah yang kutakutkan? "seharusnya semua ini tidak terjadi jika seandainya kamu pulang."
Safira Buta? ya Tuhannn aku bisa melihat mata dibalik balutan perban itu amatlah pedih. ini salahku, ini mutlak adalah kesalahanku. aku yang membuat gadis dihadapanku ini kehilangan penglihatannya, matanya yang dulu indah.
ku coba untuk meraihnya, ku coba untuk memeluknya dan memohon maaf. namun sepertinya tindakanku malah semakin membuat ia depresi.aku mengerti jika ia marah, seandainya aku tidak melupakannya, semua ini pasti tidak akan terjadi.Safira pasti masih bisa melihatku datang, melihat rambutku dan janggutku yang sudah sangat rapi seperti apa yang ia inginkan, melihat betapa rindunya aku pada senyumannya,dan melihat betapa indahnya cincin yang aku bawakan untuknya.
Hingga akhirnya akupun berhasil merengkuhnya dalam pelukanku. ia menangis, tapi aku lebih merasakan tangis teramat pedih. bayangkan jika hal ini terjadi padamu, jika orang yang kau sayangi menderita akibat kebodohanmu sendiri.
"Maafkan aku sayang... aku benar-benar sangat menyesal. mulai saat ini, kau tidak perlu memintaku untuk berjanji lagi. aku akan bersumpah sampai darahku habis, kau akan tetap ku jadikan kekasih."


Sebulan kemudian...
Aku berhasil menduduki jabatan sebagai Manajer Teknik. semuanya berubah drastis. Dan di hari pertamaku memasuki ruang kantor baru, aku harus mempersiapkan diriku sebaik mungkin. Safira ada disampingku, mendampingiku dan tetap mendukungku. kulihat ia memilihkan dasi untukku, kemudian mendekat dan meraba dadaku dengan penuh kelembutan. Meraih kerah bajuku lalu menyisipkan dasi berwarna hijau muda. Kulihat ia sangat berhati-hati mengikatkannya dengan senyuman yang masih terlihat indah bagiku.
"Apa warna kemejamu?" tanyanya padaku.
"Kamu yang memilihkan kemeja ini, warnanya secerah senyummu. Biru langit."
"Bagaimana dengan dasinya?" tanyanya lagi sembari ia masih berusaha mengikat.
"Hijau muda"
"Astagaaa!!! aku salah memilih dasi, seharusnya hitam atau garis-garis. Kamu harus membantuku mencariny." kutahan tangannya saat ia hendak menarik kembali dasiku.
"Jangan!" kataku."ini adalah pilihanmu, aku tidak mau menukarnya dengan dasi yang lain. teruslah mengikat."
ia tersenyum walaupun tetap menggerutu. ia begitu ikhlas melayaniku, ia tahu aku sangat menyayanginya, dan ia mungkin tahu dasi yang ia pasangkan tidaklah rapi. tapi aku akan tetap seperti ini untukmu. kucium kedua matamu yang gelap, tapi aku yakin cinta kita berdualah yang akan memberikan sinar pada penglihatanmu. Kau adalah istirku yang terbaik dan kau tetaplah istri yang sempurna bagiku.

Sambil Lalu

Aku punya kehidupan sendiri,
Merayapi hari demi hari hingga lelah terasa menyekik leherku
Menenggelamkan titik-titik rindu yang sempat menelisik
Langitpun terlihat semakin jauh di mataku,
Apa lagi dirimu
Ternyata waktu telah berhasil menelanku
Menghabisi perasaanku sedemikian rupa
Namun aku tetap bersyukur,
Tuhan masih memberiku waktu satu jam dua puluh menit
Untuk bertahan di bawah teduhnya cintamu,
Memperhatikan dirimu meskipun sambil lalu.

KARENA KAU YANG MENGAJARIKU



Aku pernah roboh,
Lalu kau datang dan mengajariku menyemayamkan hidup
Tentang pahit dan manis, surga dan neraka, kasih dan dusta
Akupun belajar dengan cintamu
Bagaimana aku berbuat baik, kaulah yang mengajariku
Setiap aku bertindak bodoh, kaulah yang mengajariku
Saat amarah menguasai naluriku, memerangkapku dalam kabung penghianatan,
Akupun tahu semua itu adalah karena kau yang mengajariku
Dan ketika kau meninggalkan aku
Akupun mati, seperti apa yang telah kau ajarkan padaku

Gergasi GUlita

Senyum merupakan retas sembilu dalam pojok yang membelit kepedihan
Sedihku sedikit demi sedikit melindap keram
Gergasi gulita yang dulu menemaniku seakan mundur menyerah
Akibat guratan semu sebuah batang cahaya pipih
Menenggelamkan diri ketika ranap

Dulu asa memang sempat terpendam tak mau keluar
Kini ia kembali lagi dalam pejaman
Kuat. Lebih kuat dari sebelumnya
Tak ada lagi noda kekhawatiran meradangi jantungku
Tak ada salahnya meraup keyakinan akan sebuah cinta.
Dan tak salah pula bila meraihnya dengan segenap perasaan.